PKS Kabupaten Tangerang
Kabtangerang.pks.id - Amirul Mukminin Utsman bin ‘Affan ra pernah berkata “Lau thahurat quluubukum maa syabi‘tum min kalaamillaahi ‘azza wajalla”. Jika saja hati kalian suci bersih, niscaya tidak akan pernah kenyang dari kalamullah. Apa kira - kira hikmah yang bisa kita petik dari ungkapan tersebut?

Pertama, Ragam Pola Interaksi
Rasulullah membacakan Al Qur’an kepada orang beriman, kaum yahudi dan nashrani, penyembah berhala dll. Ternyata reaksinya berbeda - beda. Abu Bakar begitu mudah tersentuh hatinya (hingga menangis), Abu Jahal malah semakin keras penentangannya, Umar bin Khathab menemukan hidayah dan sering pingsan jika mendengar ayat tentang neraka. Kaisar An Najasy dan Raja Heraklius sama - sama tersadar, namun jalan yang diambil berbeda. Singkatnya, al Qur’an bisa memberi petunjuk, bisapula menyesatkan.

Al Qur’an itu ibarat air hujan yang turun menghidupkan bumi yang mati dan membawa sejuta manfaat. Namun air hujan memiliki efek yang berbeda, bergantung kondisi tanahnya. Ada tanah tandus yang menjadi hidup, ada tanah bebatuan yang tidak bisa mengambil manfaat dari air hujan dan adapula tanah yang akhirnya longsor dan menjadi bencana sebab air hujan.

Demikian pula dengan Al Qur’an, seberapa besar kemanfaatannya sangat ditentukan dari kadar kesiapan hati untuk berinteraksi dengannya. Jika kita mau membuka hati dan pikiran atas kebenaran yang dibawa Al Qur’an, niscaya kita akan menjadi orang yang beruntung sebagaimana para shahabat dan salafush shalih. “Faman yuridillaahu ayyahdiyahu yasyrah shadrahu lil islaam”.

Namun jika kita sombong, angkuh dan berpaling dari Al Qur’an, niscaya kita akan mengikuti jejak Abu Jahal, Abu Lahab, Umayyah bin Khalaf dll. “Waman a’radha ‘an dzikrii fainnalahuu ma’isyatan dhankan wanahsyuruhuu yaumal qiyaamati a’maa”.

Kedua, Ukuran Kebersihan Hati
Bagi mereka yang memilih islam sebagai agama dan jalan hidup, niscaya akan bersentuhan dengan Al Qur’an. Ada diantara mereka yang betah berlama - lama dengan Al Qur’an, dengan membaca, menghafal dan mentadaburinya. Adapula yang acuh, tidak nyaman dan bahkan cenderung menghindar jika mendengar bacaan Al Qur’an.

Proses interaksi dengan Al Qur’an bisa menjadi alat ukur yang shahih dalam menilai kondisi hati. Apakah kita sedang taat atau maksiat, apakah iman kita sedang naik atau turun dll. Dalam posisi ini, jari telunjuk harus kita arahkan ke diri sendiri, bukan untuk menilai dan memvonis orang lain. Apakah Al Qur’an membuat hati kita jadi semakin tenang atau semakin panas, semakin tunduk atau semakin ingkar. Betapa banyak orang mempelajari Al Qur’an tapi tetap pada kekafirannya sebagaimana yang terjadi pada kaum orientalis.

Bukankah apa yang ada didalam hati adalah perkara yang rahasia? Benar, tapi apa yang ada didalam hati biasanya juga akan terpancar melalui lidah dan perbuatan, secara alamiah dan tanpa direkayasa. Lihatlah mushaf Al Qur’an dengan penuh kejujuran, niscaya kita akan mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya.

Ketiga, Mengakrabi Al Qur’an
Banyak kaum muslimin yang berkeinginan untuk bisa akrab dan dekat dengan Al Qur’an, namun enggan untuk menempuh jalannya. Caranya adalah dengan terlebih dahulu bertaubat, menginsyafi diri, membersihkan kerak dan karat yang menutupi hati. Hanya dengan cara itu, Al Qur’an bisa menyapa relung hati yang paling dalam. Selama kita masih nyaman dengan beragam dosa dan maksiat, jangan harap bisa merasakan syahdunya bacaan Al Qur’an, bergetarnya hati tersentuhnya nurani.

Dari sini, kita jadi tersadar dengan kualitas keimanan para shahabat. Mereka mudah disentuh hatinya dengan Al Qur’an, mudah diingatkan dengan ayat Al Qur’an dan mudah digerakkan dengan petunjuk Al Qur’an. Jika kita ingin merekonstruksi generasi emas seperti itu, tidak bisa tidak kecuali dengan Al Qur’an pula.

Khatimah
Sebagaimana Al Qur’an bisa mengusir setan, maka gunakan pula Al Qur’an untuk membersihkan hati. Jika hati mulai bersih, isilah dengan Al Qur’an agar terjaga keistiqamahannya. Barulah kita bisa merasakan kebenaran ungkapan Utsman bin Affan ra, dimana pagi siang dan malam kita membaca al qur’an, tapi tidak ada rasa bosan dan jenuh melanda hati. Itulah bentuk kenikmatan beribadah. Wallahu a’lam.

Eko Jun

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama