PKS Kabupaten Tangerang
Ilustrasi, Aksi Bela Islam
Oleh: Erwyn Kurniawan
Presiden Relawan Literasi
Humas DPP PKS

Mendung masih menggantung saat saya tiba di * Mart Grand Wisata, Tambun. Saya mampir pagi ini, Kamis di ujung November karena hendak membeli snack dan minuman. Saat tiba di pintu masuk, nuansa berbeda sudah kita temukan.

Ada tulisan di selembar kertas yang diletakkan di kaca. Kalimatnya: Maaf Tutup Sementara karena sedang Sholat. Pengumuman semacam ini tak akan kita dapati di maret atau **mart.

Kasirnya pun berjilbab. Dengan ramah saya dilayani. Senyum dan ucapan terimakasih terlontar dari mulutnya ketika melayani saya.

Sebelum ke kasir, tentu saja saya berbelanja terlebih dulu. Pandangan mata saya sempat menyapu rak-rak yang ada. Hampir tak jauh beda isi produknya dengan mini market sejenis. Pada titik inilah terlintas dengan cepat kisah Pilgub Jatim 2018 dan PKS.

Bulan Madu yang Terusik
Sepekan terakhir ini, PKS mendapat serangan karena diberitakan akan satu perahu dengan PDIP dalam mengusung Syaifullah Yusuf atau Gus Ipul di Pilgub Jatim. PKS tiba-tiba dikecam umat, bahkan oleh kadernya sendiri. Partai dakwah ini dianggap tidak konsisten dan mengkhianati umat Islam karena mau berkoalisi dengan PDIP yang merupakan ikon partai pendukung penista agama.

Salahkah umat melakukan itu? Tidak. Ini karena mereka cinta kepada PKS. Ini karena mereka menjadikan PKS sebagai kapal harapan yang kelak mampu membawa umat menuju pelabuhan Islam yang rahmatan lil'alamin.

Asa itu tak lepas dari ghirah dan izzah umat yang kian melonjak usai Aksi 212 yang menyejarah, tahun lalu. Apalagi kemudian gerakan umat mampu memberikan kontribusi besar terhadap kekalahan Ahok di Pilgub DKI Jakarta. Umat kian semangat dan meninggi kepercayaan dirinya.

PKS ada dalam pusaran itu. Partai dakwah ini berada dalam arus besar umat dengan tidak berada dalam barisan koalisi pendukung Ahok. Bahkan dengan kelapangan jiwanya memberikan kesempatan sosok diluar kadernya untuk bertarung melawan Petahana.

Tak mudah berada dalam posisi tersebut. Incumbent saat itu memiliki segalanya. Uang, kekuasaan, jaringan, dan media besar yang mendukungnya. Siapapun, termasuk partai Islam akan mengambil pilihan realistis yakni merapat ke Ahok meski mantan Gubernur DKI Jakarta itu secara jelas telah menista Islam. Pilihan yang terbukti dilakukan oleh partai Islam lainnya seperti PPP dan PKB.

Tapi PKS tak tergoda. Bersama Gerindra dan belakangan PAN, ketiganya mengusung Anies Baswedan-Sandiaga Uno hingga akhirnya menang. Umat bersuka cita. Euphoria terjadi. PKS pun mendapat puja puji. Elektabilitas PKS bahkan melejit hingga kisaran 12% berdasarkam hasil survey Polmark, beberapa hari usai Pilgub DKI Jakarta yang "berdarah-darah."

Bulan madu PKS dengan umat terus berlanjut ketika partai berlambang bulan sabit ini menolak Perppu Ormas. Secara jelas isi Perppu ini mengebiri umat Islam. PKS berada dibarisan terdepan melakukan penolakan.

Gambar-gambar soal ini lalu bersliweran di media sosial. Isinya kurang lebih begini: Tolak Partai Pendukung Penista Agama dan Perppu Ormas. Ada gambar lambang partai, ada pula foto Habib Rizieq Shihab yang menjadi ikon perlawanan umat.

Tapi bulan madu itu mulai terusik dengan kabar bahwa PKS berkoalisi dengan PDIP di Pilgub Sulawesi Selatan. Makin tergganggu saat Netty Prasetyani, istri gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan akan dipinang oleh PDIP di Pilgub Jabar. Kemudian bulan madu antara PKS dengan umat menjadi rusak karena Pilgub Jatim 2018.

Ghirah umat untuk meningkatkan izzah sudah pada trek yang benar sehingga tak patut disalahkan jika mereka "marah" saat mendengar PKS akan berkoalisi dengan PDIP di Pilgub Jatim dan lainnya. Hanya saja, ghirah yang meledak-ledak ini mesti diarahkan karena harus kompromi dengan realitas politik seperti yang terjadi pada * Mart.

Antara Ghirah dan Realitas Politik Umat
Medan politik di Tanah Air masih jauh dari ideal bagi partai Islam. Dari pemilu ke pemilu, suara partai Islam paling tinggi hanya kisaran 10-12%. Bahkan jika digabung masih kalah jauh dari partai nasionalis.

Realitas politik semacam ini pada akhirnya membuat partai Islam tak leluasa bergerak saat Pilkada atau merespons isu-isu keumatan. Contoh, untuk mengusung calon pemimpin daerah di Pilkada harus memenuhi persyaratan jumlah kursi. Dan partai Islam, termasuk PKS sudah pasti tak mampu memenuhinya. Koalisi pun menjadi pilihan rasional di lapangan. Itulah yang terjadi di Jatim, Sulsel dan daerah lainnya.

Jadi, ketika pilihan berkoalisi dengan PDIP atau pendukung Ahok dilakukan oleh PKS, ini bukan soal pengkhianatan kepada perjuangan umat dan inkonsistensi, melainkan kompromi terhadap realitas politik di lapangan yang masih tidak menguntungkan umat.

Karena itu, saat bermunculan gambar dengan kalimat umat harus menolak partai pendukung penista agama, saya menduga ini akan menjadi bumerang ke depannya. Sebab bisa dipastikan, konstelasi politik di daerah tidak linear dengan Jakarta. Dan itu terbukti.

Bagi saya, jauh lebih tepat jika yang dikampanyekan adalah DUKUNG PARTAI PENOLAK PENISTA AGAMA DAN PERPPU ORMAS. Bangunan logika kalimat ini adalah umat akan mendukung langkah politik yang dilakukan PKS dan lainnya di berbagai pilkada karena menyadari realitas politik yang ada.

Sebaliknya, jika yang disosialiasikan TOLAK PARTAI PENDUKUNG PENISTA AGAMA DAN PERPPU ORMAS, maka yang terkena getahnya adalah PKS. Karena, saat PDIP dkk berkoalisi dengan PKS, maka PKS pun harus ditolak. Padahal, bisa jadi, PDIP datang belakangan setelah PKS lebih dulu memastikan calonnya.

Inilah yang terjadi pada Pilgub Jatim. PKS sudah lama berkomunikasi dengan Gus Ipul. Ulama pun mendukung Gus Ipul. Lalu tiba-tiba masuk PDIP. PKS kemudian kena getahnya. Apalagi ditambah cuitan admin twitter Gus Ipul yang memposting kartun yang dianggap menista agama.

Pertanyaannya, bisakah ghirah dan realitas umat dipertemukan? Sangat bisa. Dan itu sudah terjadi pada ***Mart. Bukankah minimart umat ini juga masih belum ideal? Indikasi mudahnya bisa dilihat dari produk-produk yang ditawarkan. Masih mendominasi barang-barang dari perusahan besar yang jika diusut ujung-ujungnya adalah punya "9 Naga". Kita bisa kompromi dengan fakta tersebut. Tak ada ribut-ribut.

Hal serupa seharusnya bisa kita terapkan dalam lapangan politik yang memiliki tingkat kerumitan luar biasa. Di tengah kondisi umat yang masih sering berkerumun dibandingkan berhimpun--meminjam istilah Eep Saefullah Fatah, Pilgub DKI dan Perppu Ormas sementara ini cukup menjadi standar kita dalam melihat mana partai Islam pembela umat dan sebaliknya.

Tentu saja, umat harus terus mengawal dan mengkritisi PKS jika langkah politiknya betul-betul sudah mengkhianati umat. Contoh: melarang kadernya ikut reuni 212, mendukung kriminalisasi ulama dan sejenisnya.

Jika itu yang terjadi, seranglah PKS bertubi-tubi dan saya pun akan ikut ambil bagian. Semata-mata agar langit cerah kebangkitan umat yang sudah tampak terlihat jelas, tak berubah menjadi mendung seperti cuaca yang ada di Tambun, pagi ini.

Wallahua'lam Bishshowab

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama