PKS Kabupaten Tangerang

Zaman semakin deras, pertarungan semakin panas, siasat harus semakin cerdas, cara berpikir pun harus dengan wawasan yang luas, agar engkau segera menghilangkan segera rasa malas dan memelas untuk segera berjuang dan bergegas. Pertarungan dan pergulatan semakin meluas, daya jangkaunya seakan tanpa batas, pergulatan ide tak hanya soal cerdas dan tegas, tetapi juga tentang siapa lebih dulu yang bergegas, adu gagasan pun tak kunjung lepas, terus bertarung gagasan pun tak kenal panas, ini terlalu rumit dan seakan meretas. Meretas jejak sejarah dari zaman atas, zaman terbaik yang pernah ada dan berbekas, berbekas di benak, hati, dan pikiran cerdas. Melalui literasi tak kenal lelah dan pantas, pantas untuk dijadikan teladan dalam artian yang luas, teladan terbaik sepanjang zaman, yang mengikuti kehendak zaman, sehingga yang terjadi adalah perubahan, karena perubahan adalah keniscayaan. 

Saat sedang menulis paragraf ini, ide sedang mengalir dengan sangat deras, ide yang muncul dari kegelisahan akan zaman, ide yang terpercik dari semangat untuk perbaikan, semangat untuk perubahan, yang terus bergejolak dalam diri, lalu mulai menulis tentang ide-ide segar, ide-ide agar terus berjuang, karena sejatinya kita adalah para pejuang. Menjadi pejuang adalah fitrah manusia. Sejak kita masih di dalam kandungan, Ibu kita sudah berjuang, berjuang menyesuaikan diri karena perubahan hormon, berjuang menahan rasa sakit ketika kontraksi hingga melahirkan. 

Ayah kita pun berjuang, menafkahi Ibu kita yang membagi nutrisi untuk tubuhnya dan janin. Ayah kita berjuang memenuhi kebutuhan, memastikan setiap suap makanan adalah makanan yang halal lagi baik agar tumbuh generasi yang terbaik, generasi muda yang memiliki narasi-narasi kebaikan. Berjuang adalah suatu keharusan bagi setiap diri manusia, entah ia berjuang untuk dirinya sendiri, untuk keluarganya, atau untuk masyarakat dan bangsanya. Berjuang adalah suatu keharusan apalagi saat ini kita menyaksikan fenomena Clash of Civilization seperti yang pernah diprediksi oleh Samuel P Huntington. 

Benturan-benturan mulai terjadi, antarideologi, antarkomunitas kultural, antarkepentingan politik, antaroknum-oknum yang menginginkan benturan ini terjadi. Maka sudah sepantasnya kita untuk bangkit dan bersiap diri, mempersiapkan bekal dan kemampuan agar tetap bisa survive, tetap bisa berkarya, tetap bisa berkontribusi untuk bangsa yang kita cintai ini. Bangsa yang penulisan sejarahnya mengalami distorsi, peran para santri, dan ‘ulama seperti dihilangkan dari perjuangan bangsa Indonesia melawan imperialis. 

Bangsa yang majemuk, bangsa yang ingin tetap kita pertahankan eksistensinya di panggung peradaban dunia, bangsa yang masih berusaha mencari identitas kebangsaannya. Karena sungguh bangsa ini sedang mencari narasi besar, narasi negeriku, narasi besar Indonesia. Menjadi pejuang adalah pilihan yang harus diambil oleh para pemuda saat ini juga. Pemuda yang punya narasi tentunya narasi yang dimiliki pemuda ini narasi yang bersifat positif, narasi yang teruji, narasi yang terbimbing jalannya, narasi yang jelas tujuannya, sejelas langit di siang hari yang terik, tak tertutupi oleh satu pun kebohongan dan kepalsuan. 

Di sisi lain engkau akan menemukan fenomena unik yaitu sebagian besar pemuda tak memiliki narasi, jumlah mereka sangat banyak. Pemuda tanpa narasi cenderung individualis, sangat mementingkan diri sendiri, sangat mementingkan persepsi sendiri meskipun mungkin yang diyakininya adalah relatif, keakuannya sangat dominan, saking individualis, ego sendiri lebih diutamakan, sehingga tak jarang mereka menyerah dengan keadaan. 

Karena menyerah dengan keadaan dan tak punya keinginan untuk mengubahnya, para pemuda tanpa narasi ini pun menjadi apatis, acuh dengan kondisi kekinian, tak peduli lingkungan sekitar, sense of care seakan menghilang dari diri pemuda tanpa narasi. Pemuda tanpa narasi jumlah mereka banyak, karena itulahari mereka merasa nyaman saja dengan kondisi tersebut. Akibatnya para pemuda ini lemah motivasi, lemah orientasi. Lemah motivasi karena tak tahu apa yang diperjuangkan dan untuk apa berjuang. Lemah orientasi karena ketidakpedulian terhadap realitas masyarakat, mudah menyerah dengan keadaan. Pemuda tanpa narasi juga bisa saja menjadi sebab tidak produktifnya bonus demografi. Indonesia sedang menyongsong era gelombang ketiga, di mana salah satu cirinya adalah penduduk dihegemoni oleh usia muda saat ini. 
Pemuda tanpa narasi terus bergelut dengan hal-hal yang tak penting, ini karena mereka mengalami kekosongan narasi, gelisah tanpa ujung menjadi ciri utama pemuda tanpa narasi. Kegelisahan terjadi karena lemah motivasi dan lemah orientasi, bahkan mungkin hilang motivasi dan hilang orientasi, bingung apa yang harus dilakukan, lalu kegelisahan para pemuda tanpa narasi pun berlarut-larut, kegelisahan pemuda tanpa narasi pun semakin menjadi-jadi. Pemuda tanpa narasi lupa bahwa segala sesuatu ada yang menciptakan, ada yang mendesain. Pemuda tanpa narasi menjadi lupa diri, malas untuk bergerak, isu-isu keumatan, isu-isu kebangsaan, isu-isu kesejahteraan sosial, isu-isu ketimpangan ekonomi, isu-isu ideologi transnasional, tak dapat dijangkau oleh mereka. Pemuda tanpa narasi tak mampu menganalisis berbagai fenomena ini, bahkan mungkin bila terjadi benturan, mereka memilih lari dari benturan ini, sungguh tak pantas bagi kita pemuda Indonesia mengikuti perilaku, sifat, dan sikap para pemuda tanpa narasi ini. 

Narasi menjadi hal yang penting untuk keberlanjutan roda pembangunan bangsa. Namun, kebanyakan dari kita memang tak punya keinginan untuk mencipta narasi, tak punya keinginan untuk mempelajari narasi yang sudah ada, narasi-narasi perubahan, narasi-narasi pembaruan, narasi-narasi yang terus berkembang dalam aspek operasionalnya dan tetap pada prinsip yang kokoh. Narasi-narasi positif yang akan mengubah seisi bumi, narasi-narasi positif yang akan mengubah cara pandang umat manusia terhadap berbagai persoalan yang ada, tentang hakikat kehidupan seutuhnya, tentang peran dan tugas manusia sesungguhnya, yaitu sebagai pemimpin di muka bumi ini. 

Maka lahirlah para pemuda yang punya narasi, para pejuang yang berlandaskan narasi dalam perjuangannya, narasi yang telah terbukti kedigdayaannya, narasi yang telah terbukti kesuksesannya, narasi yang telah terbukti eksistensinya, pun masih harus disesuaikan dengan kondisi kekinian dan kedisinian. Para pemuda yang punya narasi ini tidak seperti pemuda tanpa narasi, pemuda bernarasi ini terus belajar didalam hidupnya, berusaha menjadi quick learning, memandang dan membaca sejarah perjuangan bangsa Indonesia, yang penulisan sejarahnya banyak mengalami distorsi, sehingga peran para ‘Ulama dan santri tak ditulis dalam literatur dan referensi sejarah, literatur dan referensi sejarah yang digunakan dalam kurikulum pembelajaran.
Para pemuda bernarasi ini paham benar akan sejarah, di setiap masa akan berbeda tantangannya, di setiap masa akan berbeda ujian dan cobaannya, maka metode dan sarana harus terus mengalami penyegaran, menyesuaikan dengan realitas alam perjuangan yang akan dihadapi. Pemuda tanpa narasi adalah ide pokok dari sebuah gagasan singkat ini, keberadaan mereka hanya akan memperlambat gerbong bangsa ini berjalan menuju tujuan luhurnya, bahwa setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, perjuangan akan terus berlanjut, perjuangan akan terus ada, para pejuangnya juga akan terus ada, dan pemuda tanpa narasi belum terlambat untuk segera berbenah diri lalu mengambil satu narasi dan ikut pula berjuang bersama para pejuang sejati. 

Pemuda tanpa narasi tak peka membaca keadaan, mereka juga tak terlalu berminat untuk membaca sejarah para pendahulunya, tak pula membaca sejarah tentang peradaban dunia, padahal begitu pentingnya mempelajari sejarah yang ada, untuk mengambil pelajaran, untuk mengambil bekal, untuk memetik nilai-nilai perjuangan di masa kini dan masa yang akan datang. Pemuda tanpa narasi akan terus merasa kerasan dengan kondisi ini, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terbuai dengan games online, narkotika dan obat-obatan terlarang, serta faktor destruktif lainnya yang tentu akan meredupkan masa depan para pemuda, masa depan bangsa Indonesia seperti tak akan bercahaya bila para pemuda tanpa narasi tidak segera mengambil sikap untuk berubah seutuhnya, berubah dengan tak terburu-buru, mengikuti proses dan alurnya, karena percayalah perubahan yang sifatnya instan tidak akan bertahan lama. 

Pemuda tanpa narasi harus segera menyiapkan di relung hatinya sebentuk tekad, tekad untuk berubah, tekad untuk berjuang, berjuang bersama-sama para pemuda pejuang, menjadi batu bata peradaban, berkontribusi agar bangsa ini kembali tersenyum karena para pemudanya adalah para pemuda yang produktif, para pemuda yang punya narasi, para pemuda yang punya nilai-nilai perjuangan. Yang lebih parahnya lagi, para pemuda tanpa narasi ini tak punya bahan atas apa yang ia kerjakan, tak punya orientasi dalam hidupnya, bahkan sering mencela para pemuda pejuang, sering mencemooh para pemuda yang punya narasi. Jadi jangan jadi pemuda tanpa Narasi.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama