JAKARTA - Fraksi PKS di DPR RI menolak mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (3/10).
RUU tersebut telah disahkan menjadi UU dengan persetujuan dari Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PPP, PAN. Fraksi Partai Demokrat menyetujui dengan catatan.
"Satu fraksi yaitu Fraksi PKS menyatakan menolak untuk meneruskan pembahasannya pada pembicaraan tingkat dua dengan pandangan dan catatan," ujar Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia kala membacakan hasil laporan Komisi II.
Terdapat delapan poin catatan yang membuat PKS menolak RUU tersebut. Pertama, soal kekeliruan pada Pasal 6 RUU.
Fraksi PKS menjelaskan pasal tersebut menjabarkan letak IKN dalam posisi lintang dan bujur tertentu sebagai letak geografis.
Namun, secara konseptual posisi lintang dan bujur itu merupakan letak secara astronomis, bukan geografis. PKS menilai istilah itu pun masih harus diperbaiki.
"Istilah yang digunakan saja masih terdapat kekeliruan yang perlu diperbaiki," kata Doli membacakan sikap Fraksi PKS.
Lalu, PKS menyoroti kewenangan khusus yang diberikan ke badan otorita IKN sebagaimana diatur pada Pasal 12 ayat (1).
PKS menilai kewenangan otorita untuk mengurus urusan pemerintah pusat dan daerah terkecuali urusan pemerintahan absolut telah bertentangan dengan prinsip negara kesatuan dan prinsip penyelenggaraan daerah yang termaktub dalam UUD NRI 1945.
Selanjutnya PKS juga tak sepakat pada Pasal 12 ayat (2) yang menyatakan kewenangan khusus itu berupa pemberian fasilitas khusus terhadap pihak yang mendukung pembiayaan persiapan, pembangunan, dan pemindahan IKN.
"Sebagaimana tercantum dalam Pasal 12 ayat (2) berpotensi abuse of power dengan dalih kewenangan khusus tersebut," ujar dia.
Ketiga, PKS menyoroti ihwal kedudukan otorita IKN dalam pengelolaan aset IKN. Empat, soal tata kelola pemberian hak atas tanah otorita di kawasan IKN.
"Lima, terkait dengan peraturan jangka waktu hak atas tanah yang semakin bertambah panjang untuk HGU bertambah dari 90 tahun menjadi 95 tahun HGB," ujarnya.
PKS menilai jangka waktu hak atas tanah yang bertambah panjang itu kian menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap pemilik modal.
Aturan itu juga dinilai tak sejalan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 yang menyatakan pemberian hak dilakukan bertahap dan bersyarat.
"Dan sebaliknya abai terhadap kepentingan rakyat yang lebih luas," kata Doli.
"Apalagi pemberian konsesi ini tanpa disertai mekanisme kontrol berupa pemberian sanksi dan pencabutan hak dan evaluasi yang jelas kepada pemegang HGU dan juga hak pakai," imbuhnya.
Enam, terkait dengan pendanaan persiapan pembangunan dan pemindahan IKN serta penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus IKN.
Ketujuh ihwal pembiayaan utang IKN dan yang terakhir, ihwal persiapan pembangunan pemindahan dan penyelenggara pemerintah IKN menjadi program prioritas nasional selama 10 tahun.
"Fraksi PKS menolak poin tersebut. Hal ini karena pembangunan IKN berpotensi memperberat beban APBN, menambah utang negara," kata Doli.
Selain itu, PKS juga menilai hal itu dapat menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintahan selanjutnya.
Sumber: cnnindonesia.com
إرسال تعليق