Oleh: Wardoyo
Dalam mengawali setiap forum pembinaan, saya selalu menekankan sebuah aturan tak tertulis, untuk dilaksanakan oleh setiap peserta. Bahwa siapapun yang tidak hadir dalam pertemuan, harus menyampaikan permintaan izin kepada saya selaku pembina, dengan menyebutkan alasannya.
Demikian pula kelompok pembinaan yang saya ampu di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, beberapa tahun silam. Peraturan tak tertulis tersebut saya tekankan di pertemuan perdana.
Bulan demi bulan, forum berjalan lancar. Wajar, ada satu dua peserta forum yang tidak hadir, dengan alasan-alasan yang bisa diterima.
Hingga satu tahun pembinaan berjalan. Pada sebuah agenda pertemuan, suatu sore salah seorang peserta menyampaikan pesan singkat. “Ustas, maaf saya izin malam ini tidak bisa berangkat ke forum pembinaan”, demikian pesan singkat masuk di HP saya.
“Mengapa antum izin akhi? Apa alasannya?” jawab saya. Ini sesuai aturan tak tertulis yang sudah saya sampaikan di awal forum pembinaan.
Dia tidak membalas pertanyaan saya. Pertemuan pembinaan akan tetap berjalan sesuai jadwal, dan saya sudah tidak memikirkan atau menunggu jawaban pertanyaan terkait alasan tersebut.
Forum pembinaan dilaksanakan di wilayah yang cukup jauh. Sekitar 10 km dari rumah peserta pembinaan yang izin tidak hadir, dan sekitar 12 km dari rumah saya.
Malam hari itu hujan cukup deras. Kondisi jalan menuju lokasi pembinaan penuh lubang dan tidak ada lampu penerangan.
Ruas jalan di kabupaten Gowa tersebut selalu dilewati truk-truk besar pengangkut pasir, dan sangat sering terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa. Biasanya pengendara sepeda motor oleng, jatuh ke di jalan berlubang, sedangkan di belakangnya ada beberapa truk pengangkut pasir.
Forum pembinaan berjalan seperti biasanya. Dimulai bakda Isya, sekitar pukul delapan malam. Sampai pukul sebelas malam, forum sudah selesai dan hampir diakhiri dengan doa penutup.
Mendadak ada suara ketukan pintu disertai salam, “Assalamu ‘alaikum...”
“Wa ‘alaikum salam...,” kami menjawab serempak.
Ternyata yang muncul adalah peserta pembinaan yang telah menyatakan izin tidak hadir. Saya cukup kaget, karena tidak menyangka dia hadir.
Saya persilakan duduk melingkar, bersama peserta forum lainnya. “Bagaimana kabar antum?” tanya saya memecah suasana.
“Alhamdulillah, sehat ustas...” jawabnya.
“Katanya izin tidak hadir... Kok sekarang datang?” tanya saya.
“Semenjak ustas menjawab pesan singkat sore tadi, dengan menanyakan alasan ketidakhadiran saya, benar-benar saya bingung....” jawabnya.
“Usai shalat Maghrib tadi, saya mencoba mencari-cari alasan... Apa yang akan saya sampaikan ke ustas sebagai alasan ketidakhadiran?” lanjutnya.
“Saya merangkai kemungkinan, apakah kelelahan, sakit, sibuk, membantu kegiatan istri, hujan deras, ada acara di kampung... atau alasan apa lagi? Tapi itu semua hanya alasan yang dicari-cari. Karena aslinya tidak seperti itu...” ungkapnya.
“Aslinya saya tidak punya alasan apa-apa... Jadi saya gelisah karena tidak hadir tanpa alasan. Maka tadi pukul sepuluh saya putuskan untuk tetap berangkat, meskipun hujan... Maafkan saya ustas...” tambahnya.
“Saya benar-benar tidak menemukan alasan yang patut... Saya tidak punya alasan ustas...” ungkapnya.
Saya termenung mendengar penuturannya. Teman-teman yang telah duduk di forum pembinaan sejak tiga jam lalu turut menyimak dan tertegun. Kami semua merasa salut dan bangga –bahwa akhirnya dirinya memutuskan untuk hadir di forum pembinaan.
Kami semua mengetahui, bahwa dirinya memang sibuk, dan berkendaraan motor untuk melaksanakan semua kegiatan. Maka malam ini beliau rela menempuh perjalanan 10 km dengan motor dalam keadaan hujan dan jalan yang gelap tanpa penerangan.
Akhirnya kami semua menambah sesi pertemuan dengan tausiyah dan obrolan ringan. Malam itu kami semua menemukan pelajaran sangat penting.
Seakan kami dibawa ke peristiwa Perang Tabuk, di mana Ka’ab bin Malik tidak hadir. Dan Ka’ab memilih untuk menyatakan apa adanya di hadapan Nabi saw –bahwa dirinya tidak memiliki alasan.
Perhatikan ungkapan Ka’ab bin Malik saat itui. “Aku mendengar Rasulllah saw telah kembali dari perang Tabuk. Ada dalam pikiranku berbagai dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan Rasulullah saw, supaya aku tidak terkena marahnya”.
“Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi saw segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu... Aku bertekad bulat akan menemui Rasulullah saw dan mengatakan dengan sebenarnya”.
“Aku pun menghampiri Nabi saw, lalu duduk di hadapannya. Beliau bertanya, “Wahai Ka’ab, mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”
“Aku menjawab: ‘Ya Rasululah saw, demi Allah, aku tidak punya udzur... Aku tidak punya alasan...”
Saat itu seakan kami tengah bertemu dengan Ka’ab bin Malik masa kini. Ada rasa haru, namun bahagia menyelinap di hati kami.
Malam semakin larut. Waktu telah menunjukkan pukul duabelas lewat tigapuluh menit, forum pembinaan kami akhiri dengan doa penutup majelis.
Saya beriringan pulang bersama dengan dirinya. Rumah kami satu arah dengan dia. Hujan sudah hampir reda. Namun malam semakin gelap.
Kami yakin esok akan terbit fajar kebaikan dan kemenangan untuk dakwah kami.
(Serial Indonesia Membina)
إرسال تعليق