Anggota Komisi III DPR RI dari FPKS Nasir Djamil |
PKSTangerang.com - Anggota Komisi III DPR RI dari FPKS Nasir Djamil menegaskan pernyataan yang menyebut LGBT tidak melanggar HAM berdasarkan pasal-pasal tentang HAM dalam UUD 1945 adalah pernyataan yang salah dan menyesatkan.
Menurutnya, sering kali bab tentang HAM dalam UUD 1945 hanya dibaca mulai dari pasal 28A sampai dengan pasal 28I, tapi sengaja atau lupa untuk membaca pasal 28J tentang HAM.
"Padahal, pasal 28J ini tegas bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain, dapat dibatasi dengan undang-undang sesuai pertimbangan moral, agama, keamanan, dan ketertiban," katanya, Kamis (28/1).
Jadi, Nasir menerangkan, banyak penggiat HAM di Indonesia ini seolah sengaja melupakan pasal 28J ini. Padahal, pasal 28J ini adalah kunci ketika bangsa Indonesia menghormati HAM.
Ia menegaskan, kebebasan HAM di Indonesia bukanlah sebebas-bebasnya, melainkan dibatasi oleh kewajiban asasi manusia (pasal 28J). Nasir pun meminta semua pihak untuk melihat sejarah dimasukkannya pasal-pasal HAM dalam UUD 1945, dimulai dari TAP MPR No 17 Tahun 1998.
Disitu menyatakan bahwa pandangan bangsa Indonesia tentang HAM adalah adanya penegasan kewajiban asasi manusia bagian yang melekat bagi diri manusia disamping HAM itu sendiri.
Nasir melanjutkan, jadi kewajiban asasi manusia adalah kewajiban untuk menghormati HAM orang lain. Berangkat dari lahirnya TAP ini, diterbitkannyalah UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dalam UU ini dinyatakan beberapa hal yang substansinya senapas dengan TAP No 17 Tahun 1998 tersebut. Akhirnya, pasal-pasal tersebut dimasukkan dalam satu bab tersendiri dalam konstitusi ketika Perubahan UUD 1945 yang menyeimbangkan jaminan HAM dan pembatasannya.
"Sebagai perbandingan soal HAM ini, cobalah belajar juga Putusan MK No 2-3/PUU-V/2007 tentang uji materi UU Narkotika terkait hukuman mati. Kalau dilihat secara kasat mata, hak hidup berdasar pasal 28I ayat (1) adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun (non-derogable rights)," ujarnya.
Politikus PKS itu melanjutkan, ini artinya hukuman mati seharusnya bertentangan dengan pasal tersebut, tapi dengan nalar dan pertimbangan yang sangat cerdas.
MK menyatakan bahwa hukuman mati itu konstitusional karena Pasal 28I ini juga harus merujuk Pasal 28J sehingga hukuman mati adalah sah dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, tidak boleh menafikan Pasal 28J UUD 1945.
"Jadi, kalau ada aktivis yang menyatakan LGBT itu adalah HAM, sepertinya belum tuntas membaca pasal-pasal HAM dalam UUD 1945," katanya.
"Selain itu, ada persoalan mengapa LGBT harus dilarang memasuki ranah dunia pendidikan, ini jelas dalam Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945 bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur undang-undang," ujarnya menjelaskan.
Ia pun meminta aktivis LGBT untuk membaca Pasal 31 Ayat (5) UUD 1945. Dalam pasal itu dijelaskan bahwa pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Hal tersebut juga dikonkretkan dalam Undang-Undang 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Dari situ, kata Nasir, jelas bahwa sistem pendidikan nasional ataupun pengembangan iptek di Indonesia itu dipengaruhi oleh nilai-nilai agama untuk mencapai derajat iman dan takwa sesuai Pancasila sebagai ideologi bangsa. Jadi, wajar kalau LGBT yang tidak sesuai kodrat manusia dan ajaran agama itu dilarang masuk ke dunia pendidikan.
Sumber: republika.co.id
Posting Komentar