Dalam getaran yang berlalu seperti hari-hari sebelumnya. Kau hadir kembali menghentakkan seluruh jiwa agar tunduk kembali pada-Mu. Seperti senja yang selalu terkenang, kemudian gerimis di awal malam yang dingin dan membekukan, memoar-memoar itu kembali terjadi namun dalam bahasa yang tak biasa. Kali ini terasa berbeda. Ketika satu persatu perenungan mulai menggugurkan keangkuhanku agar lebih merasa bahwa sungguh tak ada yang lebih mulia selain keshaalihan yang berbalut dengan hati yang ikhlas dalam beramal hanya karena-Mu. Menyadari betapa titik-titik khilaf itu membuat diri ini semakin abu-abu jika tak ingin dibilang sebagai lumpur hitam yang pekat.
Ah apalagi yang paling indah selain amalan yang bercahaya, jiwa yang tersemai, dan selalu tertaut dengan-Mu. Mata yang senantiasa tunduk dalam pandangan ketawadhu'an di hadapan-Mu, serta sentuhan-sentuhan akhlaq yang mengagumkan dalam balutan kematangan pribadi di dalam diri. Keindahan itu terasa begitu jauh untuk disentuh apalagi jika diharap untuk kumiliki. Lalu haruskah ku hentikan do'a agar yang menjadi imaji itu bisa datang menghampiri? Sedangkan kenikmatannya jika saja diketahui oleh semua penduduk bumi, tentu mereka akan berlari menghimpunnya untuk dikumpulkan dalam pribadi-pribadi mereka, meski itu melelahkan, menjenuhkan, atau bahkan menguras habis energi yang dimiliki. Sungguh, impian ini tak boleh sedikit pun hilang dan pergi.
Sekarang kita tak lagi berbicara soal jika dan jika, namun lebih kepada pantas dan tak pantas. Kalau saja kita merasa tinggi, sejatinya diri kita tak lebih hanya karakter yang hina, sebab orang yang bijak, tak pernah merasa bijak, apalagi orang yang shaalih, mereka sama sekali tak pernah merasa shaalih. Lalu, rasa tinggi, angkuh, merasa hebat, pantaskah kita pakai? sedangkan sifat sombong, hanya berhak dimiliki oleh-Nya.
Sekali lagi, kita tak ingin membicarakan soal jika dan jika, namun pantas dan tak pantas. Jikalau pun masih ada sebersit rasa yang memberi jawab bahwa kita merasa berharga, sejatinya diri tak lebih dari sekadar insan yang tak pernah bernilai di mata-Nya. Karena sudah bisa dipastikan rasa berharga yang menancap erat dalam jiwa kita tak lebih dari bisikan kecil syaitan untuk membuat kita riya dalam beramal, mengerdilkan orang lain dengan pengetahuan kita, juga mengecilkan kehangatan ukhuwah hanya dengan segelintir keangkuhan kita.
Tak pantas, memang takkan pernah pantas, jika kita mau membandingkan dan menyamakan kesesuaian kita bersama mereka yang senantiasa merendah, menyentuh bumi dalam keindahan akhlaq yang mempesona nan menggetarkan. Ini bukan tentang jika dan jika. Namun, pantas dan tak pantas. Maka layaklah, ketika akhirnya kita berkesimpulan bahwa takkan pernah pantas mereka yang amalnya tak seberapa, mengharap balasan terindah dari-Nya, mereka yang hatinya tak seberapa cinta pada Allaah, mengharap dekapan erat-Nya sembari memberi setumpuk pahala, takkan pernah layak. Karena bagi-Nya keikhlasan tetap menjadi prioritas, seberapa besar pun amal yang kita tunaikan.
Kemudian jika sebuah kesimpulan itu terlanjur kita ambil, bahwa takkan pernah pantas mereka yang kerja-kerjanya hanya sebatas dunia meminta atau justru memaksa mengambil nikmat dari-Nya, bahwa semua keinginannya hanya tertuju pada kesemuan mencederai harapan mereka dengan meyakini bahwa Allaah meridha'i mereka. Padahal hanya sebentuk istidraj atas nikmat yang ada juga nafsunya yang tak pernah putus mematikan ruh yang dimilikinya. Pantaskah mereka meminta sebuah kebersamaan yang tak pernah layak untuk dimiliki oleh mereka? Takkan pernah layak, sampai kapan pun, di manapun, mereka takkan pernah layak memilikinya. Hanya saja begitulah Allaah. Dia adalah Sang Maha Pengasih, Penebar Cinta bagi makhluk-Nya. Meski kita hina, kotor, pekat, Rabb-mu tetaplah penyayang.
Jika kita khilaf dalam kurun waktu yang tak terhitung, maka cobalah kita kejar segala takaran keindahan yang Allaah sediakan bagi kita. Selalu saja yang kita dapatkan adalah ketundukan diri, bahwa Allaah ternyata begitu melimpah nikmat-Nya. Janganlah kita berspekulasi tentang jika sesuatu yang akan terjadi nanti tak sesuai dengan yang kita ingini akan berdampak pada kekecewaan. Jika apa-apa yang kita kehendaki akhirnya kita miliki, maka betapa bahagianya hari ini. Namun berpikirlah tentang pantas dan tak pantas untuk kita miliki. Sudahkah itu layak untuk kita miliki? sudahkah iman dan cinta kita pada Allaah telah membuat kita layak untuk memiliki segala apa yang kita ingini?
Posting Komentar