PKS Kabupaten Tangerang
Oleh Dwi Budiyanto

Ilustrasi (pexels.com)



Adalah Jad bin Qais, lelaki dari Bani Salamah itu, ditemui Rasulullah saw sebelum berangkat ke Tabuk. “Hai Jad, maukah tahun ini kau memerangi Bani Ashfar?”

Lelaki itu terdiam. Ia terlihat gusar untuk kemudian menjawab, “Ya Rasulullah, izinkan aku (untuk tidak turut perang) dan janganlah membuatku terfitnah. Demi Allah, kaumku sangat memahami bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang lebih berat kekagumannya pada wanita melebihi aku. Aku khawatir ketika melihat wanita-wanita Bani Ashfar, tidak dapat menahan diri.” Perintah Rasulullah itu ingin dihindarinya. Dengan bahasa yang halus dan alasan yang terasa penuh kebaikan, ia mengelak.

“Aku izinkan,” kata Rasulullah sambil berpaling dari Jad bin Qais. Laki-laki pengelak itu tersenyum lega. Ia merasa berhasil menghindar dari tugas yang diberikan Rasulullah. Tapi, Allah mengecam kelakuannya.

“Di antara mereka ada orang-orang yang berkata, berilah saya izin (untuk tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjerumuskanku ke dalam fitnah. Ketahuilah bahwa mereka telah terjerumus ke dalam fitnah.” (Qs. At-Taubah [9]:49).

Ayat di atas memberikan kecaman keras terhadap orang-orang munafik yang mengelak dari tugas-tugas dakwah. Teramat keras. Bukan karena dakwah menolak setiap udzur. Sama sekali tidak. Allah mengecam Jad bin Qais karena ia beralasan dengan mengada-ada. Ia mengelak dari tugas dengan dalih yang dibuat-buat. Inti sebenarnya adalah kendornya semangat dan rapuhnya keimanan. Wujud yang dapat dideteksi adalah kebiasaan untuk menghindari keterlibatan dalam dakwah, segala aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, atau pun aktivitas tarbiyah.

Kisah Jad bin Qais tertuturkan pada kita untuk menjadi bahan renungan. Bermula dari membaca ulang kisahnya, kita mendedah diri sendiri. Adakah tindakan mengelak dari amal-amal kebaikan dengan berbagai alasan yang mengada-ada sering dilakukan? Sebagian orang mungkin enggan memenuhi panggilan tugas dakwah dan tarbiyah dengan mengusung alasan kesibukan bisnis, kerja, atau urusan keluarga (Qs. Al-Fath: 11 atau Qs. Al Ahzab: 13). Sebagian yang lain gampang izin tidak mengikuti proses pembinaan dan tarbiyah dengan alasan sakit kepala. Padahal, sebenarnya, sakit yang dideritanya tidak seberapa dan masih memungkinkan untuk berangkat. Lemahnya semangat dan menggelembungnya kemalasan sajalah yang mendorong untuk menciptakan alasan selogis mungkin agar memperoleh izin atau dispensasi. Maka, kita menemukan ‘izin’ yang disampaikan tak lebih dari sekedar ‘pemberitahuan’ untuk mangkir.

Mereka yang gampang beralasan untuk mangkir mungkin dapat mengelabuhi orang lain; murabbi atau qiyadah dakwah, tapi sesungguhnya ia tidak dapat membohongi Allah ta’ala. Sakit yang dijadikan alasan, sesungguhnya skala sakitnya sangat diketahui Allah. Kesibukan di rumah dan di tempat kerja sangat dipahami ukurannya oleh Allah ta’ala.

Seseorang dapat memperbesar skalanya di hadapan murabbi atau qiyadah, tapi tidak di hadapan Allah. Ia bisa saja mengatakan, “Afwan ustadz, saya tidak dapat ikut ngaji karena sakit kepala berat.” Seberapa beratnya? Allah sangat tahu kondisi kita. Murabbi atau qiyadah boleh jadi akan memakluminya, sebagaimana Rasulullah mengizinkan Jad bin Qais, tapi jika izin yang disampaikan hanya mengada-ada, Allah ta’ala mengecamnya. Semoga kita terhindar dari perilaku demikian.

“Ya Allah kuatkanlah iman kami. Teguhkanlah pendirian kami. Kuatkanlah semangat kami untuk senantiasa istiqamah di jalan-Mu.”

Sumber: ruangtarbiyah.com

Post a Comment

أحدث أقدم