Oleh: KH. Hilmi Aminuddin rahimahullah
Kita sudah banyak mendengar wejangan tentang hikmah dan fawaid (keutamaan) Ramadhan. Diantara keistimewaan-keistimewaan Ramadhan yang demikian banyak, yang paling menjadi kalimat jami’ah (kalimat umum), yang biasa didengar dimana-mana, disebutkan bahwa di bulan Ramadhan ini Allah menjanjikan maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar.
Ketiganya itu adalah pahala atau medali yang akan diberikan Allah SWT kepada orang yang memenangkan Ramadhan. Kita berharap dapat meraih maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar, bukan hanya terasa sebagai janji-janji yang hangat di bulan Ramadhan, tapi insya Allah menjadi langkah-langkah yang terasa di bulan Ramadhan dan bulan-bulan sesudahnya; menjadi sikap dan perilaku yang bisa dirasakan sampai Allah mempertemukan kita kembali kepada Ramadhan berikutnya.
Kekalnya curahan maghfirah, wa rahmah, wa itqun minan nar itu sangat tergantung pada kemampuan kita merealisasikan makna kalimat Ramadhan itu sendiri, yaitu kemampuan imsak (menahan diri). Inilah sesungguhnya hal yang paling mendasar yang harus dicapai di bulan Ramadhan.
Sebagai manusia kita diberi oleh Allah SWT potensi rohani, akal, pikiran, dan jasad. Masing-masing potensi itu mempunyai thumuhat (obsesi)nya sendiri. Ada thumuhat fikriyah, ruhiyah, dan thumuhat jasadiyah, yang saling berlomba untuk mencapai yang tertinggi. Agar perlombaan—yang merupakan realitas dalam kehidupan—tidak melahirkan benturan-benturan, overleaping, bentrokan yang mengakibatkan kelumpuhan, maka kita perlu memiliki kemampuan menahan diri. Dalam realitas kehidupan yang penuh perlombaan, penuh persaingan, penuh kompetisi ini, kita harus mampu mengendalikan diri. Agar semangat kompetisi itu bisa mencapai hal-hal yang positif dan produktif yang bisa dirasakan manfaatnya oleh diri kita, keluarga, masyarakat, umat, bangsa ini, bahkan oleh kemanusiaan pada umumnya.
Kemampuan menahan diri (imsak) itulah yang membuat khutuwat (langkah-langkah) kita munazhomah (teratur), tertib, terencana, jelas arahnya, jelas targetnya, dan jelas sasarannya. Tanpa kemampuan pengendalian diri, banyak potensi berhamburan tidak terarah. Banyak potensi tidak produktif.
Pengendalian diri yang saya maksud adalah meliputi kemampuan menahan diri dalam segala sepak terjang kehidupan kita; mampu menahan diri dalam kehidupan pribadi, rumah tangga, politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Seluruhnya harus terkendali.
Jika kemampuan mengendalikan diri itu sudah mendominasi diri kita, Insya Allah kita akan bisa mencapai suatu kondisi yang paling mendasar dalam diri kita, yaitu salamatus shadr (kelapangan dada), karena emosi kita bisa dikendalikan. Tidak mudah berprasangka, tidak mudah menyebarkan zhan, syak, atau curiga. Tidak tertarik untuk menyebarkan fitnah, menyebarkan isu yang sarana prasarana teknologinya kini semakin canggih.
Salamatusshadr bisa dihasilkan dalam diri kita apabila masing-masing kita pandai menahan diri; tidak mudah terpancing gossip, isu, terseret pada perilaku yang merusak dan tidak bermanfaat; tidak terpancing oleh manuver-manuver yang memang sengaja dilontarkan oleh lawan-lawan Islam dan lawan-lawan dakwah.
Salamatusshadr akan memudahkan kita bergaul di masyarakat. Tanpa modal kemampuan menahan diri dan modal rahabatus shadr, salamatus shadr, pergaulan kemasyarakatan dan komunikasi sosial kita menjadi sempit, terbatas, terhambat, bahkan akan menghadapi berbagai benturan di sana sini.
Keberhasilan meraih kemampuan pengendalikan diri dan keberhasilan menghidupkan kondisi ruhiyah—yang disebut salamatus shadr itu—insya Allah akan menimbulkan hal yang paling positif dalam kehidupan kita yaitu munculnya rasa tanggung jawab; tanggung jawab secara pribadi atau rumah tangga; atau dalam berjama’ah, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, bahkan dalam pergaulan antar bangsa, antar umat, antar negara, antar komunitas. Dari rasa tanggung jawab inilah akan muncul rasa empati pada penderitaan dan kesulitan yang dialami sesama saudara di tengah-tengah umat, atau di tengah-tengah bangsa ini, atau sesame umat dalam kerangka kehidupan di dunia ini.
Kita sebagai jama’ah dakwah yang membawa misi Islam rahmatan lil ‘alamin, tidak mungkin bisa melaksanakan misi tersebut, kalau kita tidak memiliki rasa tanggung jawab. Islam dan umatnya menuntut kader-kader dakwah untuk tampil dengan penuh rasa tanggung jawab memperjuangkan kepentingan, nasib, dan kejayaan Islam wal muslimin.
Rasa tanggung jawab itulah yang seharusnya mampu kita tampilkan di tengah-tengah musyarakah ijtimai’yah kita, yaitu dengan menjadi anggota masyarakat yang paling merasa bertanggung jawab atas qodhoya ummat (problema umat), atas situasi kondisi kehidupan yang ada di lingkungan kita, lingkungan bertetangga, lingkungan bermasyarakat, lingkungan bernegara dan lingkungan pergaulan antar bangsa, bahkan dalam ruang lingkup yang sempit sekali pun.
Masyarakat, umat dan bangsa hanya akan menokohkan putra-putranya yang memiliki rasa tanggung jawab terhadap qadhaya ummat; qadhaya Islam wal muslimin. Tanpa mampu menampilkan rasa tanggung jawab dan karya-karya yang terprogram, kita akan diabaikan oleh umat dan bangsa ini, disisihkan, tidak dipedulikan dan tidak dinilai.
Rasa tanggung jawab dalam diri kita itulah yang akan mendorong umat ini memberikan kepercayaan dan menokohkan kita untuk mengelola dan mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan rasa tanggung jawab kita kokohkan dakwah ini. Dengan rasa tanggung jawab kita layani umat dan bangsa ini. Dan dengan rasa tanggung jawab kita pimpin, kita bimbing, kita kendalikan umat ini ke arah jalan yang ditunjukkan Allah dan Rasul-Nya, jalan kebahagiaan fii dunya wal akhirat.
Sumber: risalah.id
Posting Komentar