Oleh: Aunur Rafiq Saleh Tamhid Lc.
Amal jama’i adalah bekerja bersama-sama di dalam jama’ah yang berkomitmen melakukan dakwah. Jama’ah adalah istilah yang disebutkan oleh Nabi saw (Sunan at-Tirmidzi 2165) sehingga memiliki makna dan tata cara tersendiri di dalam praktik berorganisasi di kalangan para dai, tidak sama dengan oraganisasi sekuler yang ada. Karena itu, ia memiliki akhlak khusus dan lebih menekankan aspek moralitas agama ketimbang sisi organisatoris semata. Karena jama’ah menjadi sarana ibadah paling penting dan perjuangan menegakkan Islam. Diantara akhlaknya adalah:
Pertama: Niat shalihah.
Karena menjadi sarana ibadah paling penting maka harus dilandasi niat yang ikhlas, yakni menjadikannya sebagai sarana untuk membela agama Allah. Firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (Muhammad: 7)
Niat ini harus terus dijaga sejak awal hingga akhir, karena niat bisa berubah di tengah perjalanan, khususnya ketika dakwah sudah mulai memberikan buahnya. Agar niat ini tetap terjaga dengan baik hingga akhir perjalanan, janganlah anda mengaitkan aktivitas anda di dalam jama’ah dengan perolehan materi, jabatan, popularitas dan kedudukan. Karena semua itu bisa merusak niat dan membuat anda tidak bisa bertahan lama di dalam jama’ah, mudah kecewa, mutung dan kehilangan motivasi dalam berjama’ah bila apa yang anda harapkan itu tidak tercapai.
Kedua: Tidak Meminta Jabatan.
Mungkin meminta jabatan menjadi sesuatu yang lumrah di dalam organisasi sekuler, tetapi di dalam amal jama’i hal ini justru menjadi sesuatu yang tidak lazim bahkan aib. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut.
Dari Abu Musa al-Asy’ari ra, ia berkata: Saya pernah masuk menemui Nabi saw bersama dua orang lelaki dari kaumku lalu keduanya berkata: ‘Angkatlah kami menjadi pemimpin wahai Rasulullah’. Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya kami tidak memberikan urusan ini kepada orang yang memintanya dan tidak pula kepada orang yang berambisi terhadapnya”. (Bukhari 7140 dan Muslim 1733)
Karena ambisi bisa membuat seseorang ”gelap mata” lalu menabrak akhlak dan aturan agama.
Karena itu, di dalam amal jama’i tidak dikenal upaya menggalang dukungan apalagi intrik-intrik untuk pencalonan suatu jabatan internal. Karena hal ini termasuk meminta dan berambisi terhadap jabatan. Disamping bisa menimbulkan kebencian, kedengkian dan celaan terhadap sesama dai. Semua itu dilarang dalam Islam. Apalagi biasanya orang yang lemah kepribadian menggunakan celaan dan “serangan” kepada saudaranya untuk meng-upgrade dirinya, karena kurang “pede” terhadap kemampuan dan integritas dirinya sendiri.
Tetapi tidak dilarang sekedar mengusulkan, menyampaikan pandangan, analisa dan opini, tanpa mencela orang lain.
Ketiga: Taat.
Ketaatan dalam amal jama’i menjadi faktor sangat penting dan menentukan soliditas jama’ah. Bahkan tidak ada artinya berjama’ah tanpa ketaatan. Umar bin Khatab ra berkata:
“Tidak ada Islam tanpa jama’ah, tidak ada jama’ah tanpa kepemimpinan, dan tidak ada kepemimpinan tanpa ketaatan”. (ad-Darimi 1/7)
Hal ini karena di dalam amal jama’i diperlukan berbagai penugasan, penunjukan dan keputusan, sehingga diperlukan ketaatan bukan perdebatan dan penolakan. Fase amal jama’i adalah fase jundiyah murni. Sabda Nabi saw:
“Saya perintahkan kalian dengan lima kata yang diperintahkan Allah kepadaku: Berjama’ah, mendengar, taat, hijrah dan jihad di jalan Allah. Siapa yang keluar dari jama’ah sejengkal maka ia telah melepas ikatan Islam dari lehernya kecuali kembali lagi”. (Ahmad, 4/130, 202, 344, Tirmidzi, 2863, dan Ibnu Khuzaimah, 1895).
Dalam amal jama’i, menolak perintah pimpinan adalah “dosa besar” karena ketaatan menjadi salah satu rukun utama janji setia.
Keempat: Sabar.
Dalam amal jama’i juga diperlukan kesabaran, karena bisa jadi seseorang mendapat tugas tidak sesuai keinginannya, atau ada keputusan-keputusan yang tidak sesuai kecenderungan dan pendapat pribadinya. Karena itu, di dalam amal jama’i tidak dikenal adanya “unjuk rasa” dan “mosi tidak percaya”, bila jama’ah memutuskan sesuatu tidak sesuai keinginan pribadi kita. Apalagi mengajukan tuntutan ke pengadilan di luar jama’ah. Orang yang melakukan mosi tidak percaya dalam jama’ah tidak mengerti akhlak beramal jama’i yang lebih menekankan moralitas agama, atau karena pengaruh tradisi organisasi sekuler yang belum sepenuhnya terkikis di dalam dirinya.
Karena itu, sabar dalam amal jama’i termasuk ibadah yang sangat besar pahalanya karena bisa menjaga soliditas jama’ah.
Kelima: Melaksanakan Kewajiban Tanpa Menuntut Hak.
Akhlak ini diajarkan Nabi saw, demi menjaga kemaslahatan yang lebih besar, yaitu keutuhan dan soliditas jama’ah. Sabda Nabi saw:
“Akan terjadi tindakan lebih mengutamakan orang lain (ketimbang kamu) dan akan terjadi perkara-perkara yang kamu ingkari”. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw menjawab: “Kalian tetap menunaikan kewajiban kalian dan meminta hak kalian kepada Allah”. (Bukhari 3603)
Hal ini bisa jadi karena jamaah tidak mampu memenuhi semua hak anggotanya sementara tugas-tugas harus tetap dilaksanakan, sehingga mereka harus meminta hak tersebut kepada Allah sebagai ganjaran kontribusinya dalam beramal jama’i (baca kisah pembagian ghanimah di perang Hunain). Karena itu, niat ikhlas dalam berjama’ah sangat penting untuk tetap dijaga. Hadis ini juga menyebutkan kemungkinan adanya tindakan lebih mengutamakan orang lain ketimbang seseorang karena pertimbangan-pertimbangan kemaslahatan tertentu. Sekali lagi disini diperlukan jiwa besar dan keikhlasan untuk itsar.
Semoga kita bisa menjaga akhlak dalam beramal jama’i sehingga kita punya kontribusi dalam menjaga keutuhan dan soliditas jama’ah dakwah penuh berkah ini.
Sumber: Buku 'Menjaga Soliditas Kader Dakwah'
Posting Komentar