PKS Kabupaten Tangerang




Oleh Ustadz Aunur Rafiq Saleh Tamhid, Lc.

Firman Allah:

وَعَدَ  اللّٰهُ  الَّذِيْنَ  اٰمَنُوْا  مِنْكُمْ  وَ  عَمِلُوا  الصّٰلِحٰتِ  لَـيَسْتَخْلِفَـنَّهُمْ  فِى  الْاَ رْضِ  كَمَا  اسْتَخْلَفَ  الَّذِيْنَ  مِنْ  قَبْلِهِمْ  ۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ  لَهُمْ  دِيْنَهُمُ  الَّذِى  ارْتَضٰى  لَهُمْ  وَلَـيُبَدِّلَــنَّهُمْ  مِّنْۢ  بَعْدِ  خَوْفِهِمْ  اَمْنًا  ۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ  لَا  يُشْرِكُوْنَ  بِيْ  شَيْـئًــا  ۗ وَمَنْ كَفَرَ  بَعْدَ  ذٰلِكَ  فَاُ ولٰٓئِكَ  هُمُ  الْفٰسِقُوْنَ

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebaikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (an-Nur: 55)

Ayat ini menghembuskan ketenangan di hati orang-orang beriman, bahwa setiap orang yang beriman kepada Allah pasti mendapatkan janji tersebut. Janji Allah pasti benar dan ditepati.

Karena itu, Allah mengungkapkannya dengan kata kerja bentuk lampau (wa’ada). Firman Allah:

وَمَنْ أَوْفَىٰ بِعَهْدِهِ مِنَ اللَّه

“Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah?”. (at-Taubah: 111)

وَلَن يُخْلِفَ اللَّهُ وَعْدَهُ ۚ

“Allah tidak menyalahi janji-Nya”. (al-Haj: 47)

Akan tetapi, janji kemenangan dan kekuasaan dari Allah ini bersyarat dan tidak ditunggu sambil tiduran.

Karena itu, bila orang-orang beriman mau mendapatkan janji-Nya maka syarat-syarat itu harus dipenuhi dan dilakukan perjuangan keras. Di antaranya yang paling utama adalah:

1- Iman Level Tinggi (al-Iman ar-Rafi’ al-Mustawa).

Syarat ini disebutkan di dalam ayat yang menjanjikan kemenangan dan kekuasaan tersebut di atas.

“Allah telah menjanjikan kepada orang-orang diantara kamu yang beriman dan yang mengerjakan kebaikan…”.

Iman yang dimaksudkan adalah iman yang mencapai tingkat yang dikehendaki Allah, bukan sembarang tingkat keimanan.

Iman yang menyerupai keimanan generasi sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.

Iman orang-orang yang dekat dengan Allah (imanul muqarrabin). Iman orang-orang yang telah menjual jiwa dan harta mereka di jalan Allah. Iman orang-orang yang keimanannya telah merasuk ke dalam semua sel mereka.

Iman yang diinginkan adalah iman yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan. Iman yang menghendaki semua perasaan, orientasi, potensi, kemampuan dan aktivitas dikerahkan di jalan Allah.

Iman yang dengannya, janji Allah bisa dicapai adalah iman dari jenis yang sangat tinggi. Karena itu, siapa yang ingin mencapai janji Allah tersebut di atas harus meningkatkan level keimanannya.

Firman Allah:

لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَّعَ إِيمَانِهِمْ ۗ

“Supaya keimanan mereka bertambah disamping keimanan mereka (yang telah ada)”. (al-Fath: 4)

Jadi, iman bisa betambah dan berkurang. Jika terus bertambah hingga mencapai tingkat yang membuat pemiliknya layak mendapatkan janji Allah maka saat itulah datang janji Allah.

Iman yang dimaksudkan adalah iman yang dimanifestasikan dalam amal kebajikan, sikap, perilaku, tindakan, perjuangan dan semua aktivitas.

Iman yang diinginkan adalah iman yang menggerakkan hingga membuat semua orang merespons seruan dengan cepat dan merasa bersalah bila tidak ikut bergerak memenangkan Islam. Firman Allah:

انفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (at-Taubah: 41)

تَوَلَّوا وَّأَعْيُنُهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ حَزَنًا أَلَّا يَجِدُوا مَا يُنفِقُونَ

“… lalu mereka kembali, sedang mata mereka bercucuran air mata karena sedih, disebabkan mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka infakkan (untuk ikut berperang)”. (at-Taubah: 92)

Iman yang dimaksudkan adalah iman yang membangkitkan kekuatan hingga mengalahkan semua hambatan dan mengatasi semua kekurangan sarana material dan jumlah personil. Firman Allah:

قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: 'Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaklah kamu bertawakal, jika kamu benar-benar orang yang beriman'”. (al-Maidah: 23)

Bila janji kemenangan itu belum juga diberikan berarti iman yang menjadi syarat pertama ini belum mencapai tingkat yang diinginkan. Karena itu, harus terus diupayakan hingga mencapai tingkat layak untuk menerima kemenangan yang dijanjikan.

2- Mengupayakan Semua Sebab Kemenangan (al-Akhdzu Bil Asbab).

Firman Allah:

إِنَّا مَكَّنَّا لَهُ فِي الْأَرْضِ وَآتَيْنَاهُ مِن كُلِّ شَيْءٍ سَبَبًا
فَاَ  تْبَعَ  سَبَبًا

“Sungguh Kami telah memberi kekuasaan kepadanya di (muka) bumi, dan Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu, maka dia pun menempuh suatu jalan”. (al-Kahfi: 84-85)

Allah menetapkan dalam kehidupan ini bahwa segala sesuatu punya sebab atau jalan. Jika kamu ingin mencapai sesuatu, kamu harus menempuh sebab atau jalannya. Ilmu punya jalan, kekuatan punya jalan, kekayaan punya jalan, kekuasaan dan kemenangan juga punya jalan. Jika kita ingin mencapai kemenangan dan kekuasaan yang dijanjikan Allah maka kita harus menempuh jalannya dan mengupayakan sebabnya.

Allah tidak menciptakan hasil tanaman, buah-buahan dan sayur mayur secara langsung diturunkan dari langit, tetapi melalui proses memilih bibit, menanam, menumbuhkan, memupuk, merawat, menjaga dari segala gangguan, dan menunggu hingga tiba waktunya memetik. Semua proses ini harus dilalui sebelum memetik buah atau memanen.

Demikian pula untuk memetik kemenangan dan kekuasaan yang dijanjikan Allah, memerlukan proses dakwah, tarbiyah, kaderisasi, seleksi dan menghimpun kekuatan dalam waktu yang cukup hingga menumbuhkan berbagai kekuatan yang diperlukan untuk bisa memetik kemenangan yang dijanjikan. Baik kekuatan sumber daya manusia, pemikiran, ekonomi, politik, sosial, budaya dan lainnya.

Dalam bahasa lain, hingga terbentuk qa’idah shalbah, atau qa’idah harakiyah, qa’idah ijtima’iyah, qai’dah fikriyah, dan qa’idah siyasiyah, yang bisa mendukung secara memadai tercapainya janji kemenangan dan kekuasaan dari Allah. Firman Allah:

وَأَعِدُّوا لَهُم مَّا اسْتَطَعْتُم مِّن قُوَّةٍ

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki…”. (al-Anfal: 60)

Terutama kekuatan sumber daya manusia sesuai kwalitas yang dibutuhkan dan memenuhi jumlah yang diperlukan. Karena itu, proses ini bisa jadi memerlukan waktu yang lama dan perlu memanfaatkan “laboratorium kekuasaan” yang ada untuk memberi pembelajaran, pelatihan dan pengalaman.

Alhamdulillah proses ini sudah dimulai dan mudah-mudahan bisa terus berjalan dengan baik dan terus meningkat, baik pada tataran kualitas atau pun kuantitas, tanpa terkendala dan terganggu berbagai persoalan internal yang ada. Atau bisa dilakukan dengan memberikan sentuhan-sentuhan yang memadai terhadap sumber daya muslim yang ada.

Kita bersyukur ditakdirkan berdakwah di bumi Allah yang mayoritas penduduknya muslim dan cinta Islam, sehingga memudahkan untuk memberikan sentuhan-sentuhan dan “polesan-polesan” fikriyah dan da’awiyah.

Karena itu, perluasan dan peningkatan qa’idah shalbah atau qa’idah harakiyah mutlak harus terus dilakukan, tidak boleh stagnan, hingga mencapai tingkat kebutuhan yang diperlukan sesuai perbandingan jumlah penduduk yang ada. Demikian pula qa’idah ijtima’iyah, qa’idah fikriyah dan qa’idah siyasiyah.

Semua ini adalah sebab yang harus diupayakan atau jalan yang harus ditempuh untuk menyongsong kemenangan dan kekuasaan yang dijanjikan Allah.

Jika semua sebab telah diupayakan maksimal maka kewajiban berikutnya adalah bertawakal kepada Allah, bukan bergantung kepada sebab, karena kemenangan itu sepenuhnya di tangan Allah.

Kita hanya berkewajiban melakukan usaha maksimal dengan selalu bergantung kepada musabbibul asbab. Firman Allah:

وَمَا النَّصْرُ إِلَّا مِنْ عِندِ اللَّهِ الْعَزِيزِ الْحَكِيمِ

“Dan kemenangan itu hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Ali Imran: 126)

3- Menggunakan Kekuasaan untuk Berdakwah.

Firman Allah:

الَّذِينَ إِن مَّكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنكَرِ ۗ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ

“Orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf, dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”. (al-Haj: 41)

Kekuasaan yang dikaruniakan Allah kepada mereka harus dimanfaatkan untuk memerintahkan manusia menegakkkan shalat, menyuruh manusia membayar zakat, menyebar kabaikan, dan mencegah kemungkaran.

Kekuasaan di tangan orang-orang beriman harus menjadi sarana dakwah yang paling efektif, karena dengan kekuasaan ini mereka bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang tidak punya kekuasaan.

Jika orang-orang yang telah dikaruniai kekuasaan tetapi tidak menggunakannya untuk melakukan dakwah semaksimal mungkin maka dikatakan kepadanya: “Dan kepada Allah-lah kembali segala urusan”. Yakni, dia akan kembali kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan semua kekuasaan yang telah diberikan tetapi tidak digunakan secara maksmal untuk melakukan dakwah.

Jika kekuasaan yang dikaruniakan Allah ini tidak dimanfaatkan untuk menebar kesalehan dan mencegah segala bentuk kemungkaran maka mereka telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman.

Karena kekuasaan yang dikaruniakan bukan untuk kekuasaan semata tetapi untuk menjadi sarana dakwah yang paling efektif.

Akan tetapi, hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang beriman yang telah memiliki komitmen dakwah dalam waktu lama sebelum berkuasa, bukan para politisi sekuler yang baru belajar shalat dan baru menyatakan komitmen dakwah menjelang pemilihan.


Sumber: Buku Menjaga Soliditas Kader Dakwah

Post a Comment

أحدث أقدم