Gunung Halimun Salak Emdah – Kabut masih menggantung rendah saat kaki-kaki laki-laki dewasa itu mulai menjejak tanah lembap. Usia mereka bukan lagi dua puluhan. Rata-rata di atas 45 tahun. Sebagian sudah beruban, sebagian lainnya menyembunyikan letih di balik senyuman. Tapi Sabtu siang itu (26/7/2025), mereka semua berdiri di lapangan berumput, bersiap mengikuti outbound grup dalam Kembara PKS Kabupaten Tangerang 2025, dengan semangat yang meledak-ledak seperti anak muda.
Lomba pertama, estafet manusia. Satu bambu, dua orang memegang, satu orang diangkat.
Saya menyaksikan pria-pria tangguh yang biasa berdiri memberi tausiyah, kini berjongkok menopang teman mereka agar bisa naik ke atas bambu yang dipanggul. Napas ngos-ngosan, tubuh gemetar, tapi tak satu pun melepaskan pegangan.
Saling menyemangati. Saling percaya.
"Pegang kuat, kita satu tim, jangan lepas!"
Kalimat itu seperti mantra yang terus diulang dari satu kelompok ke kelompok lain.
Bukan sekadar lomba, tapi ini latihan ketangguhan. Bahwa mengangkat saudara satu perjuangan bukan soal kuat atau tidak, tapi soal mau atau tidak.
Berikutnya, lomba yang membuat saya benar-benar tersentuh.
Semua anggota regu menutup mata. Hanya satu orang, ketua regu, yang boleh melihat. Dialah komando. Dialah satu-satunya harapan agar anggota tim bisa mencapai garis akhir.
Saya lihat satu tim hampir tersasar ke semak. Tapi suara sang pemimpin terdengar mantap.
"Stop! Kiri dikit… maju dua langkah… tahan!"
Sebagian anggota tersandung akar. Tapi mereka tetap maju. Karena mereka percaya.
Percaya pada suara yang memimpin.
Percaya pada satu arah yang diserukan.
Di dunia nyata, kepercayaan seperti ini jarang lahir dari teori. Ia tumbuh dari konsistensi. Dan lomba ini menjadi cermin, seberapa besar pemimpin sanggup dipercaya? Dan seberapa siap ia memikul arah langkah banyak orang?
Lomba terakhir, mungkin paling menyentuh.
Dua kelompok saling serang dengan plastik berisi air. Tujuannya? Memadamkan lilin yang dijaga lawan.
Di tengah teriakan dan hujan plastik, saya melihat sekelompok peserta melingkari lilin kecil, memayunginya dengan tangan dan tubuh mereka.
Satu orang dari mereka, dengan baju basah kuyup dan mata berbinar, berteriak:
"Biarkan kami basah, asal apinya jangan mati!"
Saya tercekat.
Lilin itu bukan sekadar permainan. Ia melambangkan idealisme.
Dan tubuh-tubuh basah itu bukan sekadar pelindung, mereka adalah gambaran kader sejati:
Siap terluka demi mempertahankan cahaya.
Hari itu, saya melihat para lelaki dewasa, kepala-kepala rumah tangga, tokoh-tokoh lingkungan, bahkan sebagian adalah penggerak dakwah...
Mereka semua membaur dalam peluh, dalam tawa, dalam lomba sederhana.
Tapi semangatnya luar biasa.
Usia boleh bertambah, sendi boleh tak sekuat dulu. Tapi nyala perjuangan mereka masih utuh.
Dan di tengah dinginnya hutan, saya menyaksikan satu hal yang tidak bisa diajarkan di ruang taklim:
Tentang kepemimpinan yang tumbuh dari kepercayaan. Tentang persaudaraan yang tumbuh dari keringat. Tentang semangat yang tak kenal umur.
*) Catatan dari peliput Kembara PKS Kabupaten Tangerang 2025.
Di atas tanah basah dan kabut yang pekat, saya menyaksikan nyala kecil yang terus dijaga oleh para lelaki yang hatinya tetap muda. Demi umat. Demi dakwah. Demi masa depan.
Posting Komentar