Ilustrasi (https://maghdalena1.wordpress.com) |
PKSTangerang.com - Banyak pendidik memancangkan tekad mencetak generasi Rabbani. Tetapi apakah rabbani itu atau rabbaniyun (bentuk jamaknya)? Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya (ilmu agama). Jadi, tak sekedar berilmu.
Menurut Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, rabbaniyun adalah sosok yang memberikan santapan ruhani bagi manusia dengan ilmu (agama) dan didik mereka atas dasar ilmu. Maka, tidak setiap yang memberi santapan ruhani dapat disebut seorang rabbani. Ia harus memiliki ilmu agama yang kuat dan memberi santapan ruhani dengan ilmunya. Ia juga mendidik manusia dengan ilmu agama.
Dari berbagai pendapat para ulama, dapat disarikan 3 aspek penting sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang rabbani. Tiga aspek itu apa saja? Ia berilmu, mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Salah satunya tidak ada, ia bukanlah seorang rabbani. Maka mencetak generasi rabbani berarti mempersiapkan anak untuk sungguh-sungguh mengilmui agama, bersemangat mengamalkan dan mengajarkan.
Sekolah yang mencanangkan diri untuk mencetak generasi rabbani berarti harus membangkitkan militansi anak untuk mengajarkan agama. Shalih saja tidak cukup, betapa pun shalih merupakan keutamaan yang sangat mulia. Harus ada pada dirinya kehendak kuat untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Mengajarkan agama bukan berarti ia berprofesi menjadi guru agama. Lebih dari itu, ia senantiasa berkeinginan dan bersemangat mengajarkan agama kepada orang lain.
Tanpa mengilmui, mengamalkan dan kehendak kuat penuh semangat untuk mengajarkan agama kepada orang lain, tidak dapat disebut rabbani. Tidak peduli apa profesinya nanti, mengajarkan agama menjadi bagian dari kehidupannya. Ia berusaha mengajarkan agama yang lurus. Bukankah dakwah seharusnya merupakan fardhu kifayah yang memanggil kita untuk menjalaninya? Ia bukan profesi. Ia lekat pada diri ini.
Seorang rabbani bersemangat menambah ilmu bagi dirinya, mengamalkan dan berusaha mengajarkannya kepada orang lain agar mengilmui Islam. Nah, sudahkah sekolah yang mencanangkan untuk mencetak generasi rabbani menyiapkan hal ini? Ataukah hanya membiasakan anak beribadah?
Jangan keliru. Ibadah amat sangat penting. Tapi tanpa bersemangat mengajarkan kepada orang lain, ia bukanlah seorang rabbani.
Menurut Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, rabbaniyun adalah sosok yang memberikan santapan ruhani bagi manusia dengan ilmu (agama) dan didik mereka atas dasar ilmu. Maka, tidak setiap yang memberi santapan ruhani dapat disebut seorang rabbani. Ia harus memiliki ilmu agama yang kuat dan memberi santapan ruhani dengan ilmunya. Ia juga mendidik manusia dengan ilmu agama.
Dari berbagai pendapat para ulama, dapat disarikan 3 aspek penting sehingga seseorang dapat disebut sebagai seorang rabbani. Tiga aspek itu apa saja? Ia berilmu, mengamalkan ilmunya dan mengajarkannya. Salah satunya tidak ada, ia bukanlah seorang rabbani. Maka mencetak generasi rabbani berarti mempersiapkan anak untuk sungguh-sungguh mengilmui agama, bersemangat mengamalkan dan mengajarkan.
Sekolah yang mencanangkan diri untuk mencetak generasi rabbani berarti harus membangkitkan militansi anak untuk mengajarkan agama. Shalih saja tidak cukup, betapa pun shalih merupakan keutamaan yang sangat mulia. Harus ada pada dirinya kehendak kuat untuk mengajarkan agama ini kepada manusia. Mengajarkan agama bukan berarti ia berprofesi menjadi guru agama. Lebih dari itu, ia senantiasa berkeinginan dan bersemangat mengajarkan agama kepada orang lain.
Tanpa mengilmui, mengamalkan dan kehendak kuat penuh semangat untuk mengajarkan agama kepada orang lain, tidak dapat disebut rabbani. Tidak peduli apa profesinya nanti, mengajarkan agama menjadi bagian dari kehidupannya. Ia berusaha mengajarkan agama yang lurus. Bukankah dakwah seharusnya merupakan fardhu kifayah yang memanggil kita untuk menjalaninya? Ia bukan profesi. Ia lekat pada diri ini.
Seorang rabbani bersemangat menambah ilmu bagi dirinya, mengamalkan dan berusaha mengajarkannya kepada orang lain agar mengilmui Islam. Nah, sudahkah sekolah yang mencanangkan untuk mencetak generasi rabbani menyiapkan hal ini? Ataukah hanya membiasakan anak beribadah?
Jangan keliru. Ibadah amat sangat penting. Tapi tanpa bersemangat mengajarkan kepada orang lain, ia bukanlah seorang rabbani.
Posting Komentar