Mohamad Sohibul Iman |
Mohammad Sohibul Iman, Ph.D memang termasuk salah satu ikon generasi prestatif. Beberapa kesuksesan besar berhasil diraihnya, baik diranah pribadi, karir, organisasi hingga partai. Pembawaannya yang cenderung pendiam menyiratkan karakter pribadinya yang serius dan berdedikasi tinggi. Secara umum, memang begitulah karakter alami orang sains. Apalagi beliau mengambil spesialisasi sains, teknologi dan industri hingga tingkat S3 di Jepang. Namun bukan berarti beliau tidak mahir berorasi. Saat diberi kesempatan untuk berbicara, beragam konsep dan teori mengalir deras tanpa henti, dengan gaya bahasa yang ilmiah dan akademik, khas orang kampus.
Pada ranah pribadi, beliau sukses mengukir prestasi akademik. Dengan bakat kecerdasan yang dimilikinya, beliau meraih beragam penghargaan pelajar berprestasi. Awalnya beliau sempat dijanjikan untuk kuliah di ITB tanpa tes dan biaya, namun akhirnya berlabuh di IPB melalui skema PMDK. Saat tawaran beasiswa di Jepang datang, Sohibul Iman pun bergegas menyambutnya. Akhirnya beliau menamatkan jenjang S1, S2 dan S3 di Jepang, jurusan sains dan teknologi. Melihat latar belakang sejarah akademiknya, kita sangat mudah menyimpulkan bahwa Sohibul Iman memang berotak encer. Andai saja beliau tidak cinta tanah air, mungkin beliau lebih nyaman tinggal dan berkarir di Jepang, sebagaimana kebiasaan umum orang – orang yang belajar di luar negeri.
Pada ranah karier dan organisasi, beliau adalah pribadi yang sarat pengalaman. Sesuai dengan bidang keahliannya, beliau lebih banyak bergelut dengan organisasi yang konsen dengan sains dan teknologi. Diantaranya, Hokuriku Scientific Forum (HSF), Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Yayasan Inovasi dan Teknologi (YIT) dll. kariernya sebagai peneliti dan akademisi juga terhitung mengkilap. Beliau menjadi peneliti di BPPT, sebuah lembaga yang sangat lekat dengan nama BJ Habibie. Beliau juga mengajar di Universitas Paramadina, sebuah lembaga yang sangat lekat dengan nama Nurkholis Majid alias Cak Nur. Karena prestasinya, beliau bahkan diangkat menjadi rektor, usai wafatnya Cak Nur. Situasi ini memang unik, mengingat Cak Nur dan Paramadina dikenal mengibarkan bendera sekuler, sedangkan Sohibul Iman adalah sosok yang sangat religius.
Pada ranah partai, beliau pun menunjukkan jejak karir yang gemilang. Demi kecintaannya pada PK/PKS, beliau rela melepaskan baju PNS-nya, padahal posisinya sudah nyaman disana. Situasi seperti ini adalah pemandangan umum yang biasa terjadi pada generasi awal PK/PKS. Sesuai dengan keahliannya, beliau diamanahi dibidang Ekuintek (Ekonomi, Keuangan, Industri dan Teknologi) DPP PKS. Hingga akhirnya, beliau diamanahi menjadi Presiden PKS yang ke-6 menggantikan Anis Matta pada Agustus 2015. Ada banyak prestasi yang diraihnya, namun yang paling diingat publik tentu saja adalah memenangkan Pilkada Jakarta 2017. PK pertama kali menggebrak Jakarta pada deklarasi 1998, dengan menghadirkan 50 ribu massa. Selanjutnya, PKS menaklukkan Jakarta pada pemilu legislatif 2004. Namun PKS baru bisa menaklukkan kepemimpinan di Jakarta pada Pilkada 2017. Sebuah mimpi yang baru bisa terwujud setelah 19 tahun berlalu.
Setahun menjelang Pemilu 2019, ada beberapa mimpi besar PKS yang belum terwujud. Diantaranya, tampil menjadi partai papan atas (3 besar), meraih kepemimpinan nasional dll. Mungkinkah mimpi ini juga terwujud diera kepemimpinan Sohibul Iman? Menarik untuk kita ikuti kelanjutan ceritanya.
Eko Jun
إرسال تعليق