PKS Kabupaten Tangerang

Pada zaman Kesultanan Banten, penyebaran Islam berkembang pesat sampai ke pelosok- pelosok daerah. Sultan Banten mengutus para ulama untuk menyebarkan agama rahmatan lilalamin ini dengan penuh kedamaian. Para penduduknya pun menerima dengan senang hati. Sampailah salah satu ulama ke daerah perbatasan wilayah kerajaan Pajajaran yaitu di sebuah wilayah yang sekarang berada di Kabupaten Tangerang, sekitar tahun 1580-an.

Saat itu, para penduduk masih memeluk agama Hindu. Salah satu ulama yang diutus ke wilayah ini adalah Syekh Mas Masâ'ad. Syekh dikawal oleh ratusan tentara dari Kesultanan Banten. Beliau diutus ke daerah yang sekarang disebut Cisoka. Syekh Mas Masâ'ad merupakan seorang ulama yang bijaksana dan disegani. Dia tinggal di daerah yang sekarang bernama Solear. Beliau lalu mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan penyebaran agama Islam di wilayah itu.

Usaha penyebaran agama Islam oleh Syekh Mas Masâ'ad di wilayah perbatasan itu, diketahui oleh pihak kerajaan Pajajaran. Maka, raja Pajajaran pun mengirimkan pasukannya di bawah pimpinan Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Para prajurit sudah siap dengan tombak, panah, dan pedangnya. Perbekalan pun telah disiapkan mengingat jarak ibu kota menuju perbatasan cukuplah jauh. Maka, berangkatlah pasukan Pajajaran di bawah pimpinan dua pembesar itu menuju perbatasan.

Setelah berhari-hari perjalanan mereka tempuh, sampailah di wilayah perbatasan.

Lalu mereka menebang pohon-pohon hutan. Kayu-kayunya digunakan untuk membangun kuta atau benteng tempat pengawasan terhadap kegiatan penyebaran Islam. Untuk kebutuhan hidup di sana seperti mandi dan minum, mereka pun membuat sumur siuka (ciduk) yang terdapat pancuran mas.

Lama-lama wilayah itu disebut sebagai Katomas, yang terletak di wilayah Tigaraksa kini. Wilayah ini berada di sebelah timur wilayah Syekh Mas Masaed. Di Katomas inilah sang pimpinan, Ki Mas Laeng, mengawasi gerak-gerik wilayah barat itu. Ki Mas Laeng sangat disegani oleh para prajuritnya. Kemampuan olah kanuragannya tak diragukan lagi sebagai pimpinan pasukan. Adapun Ki Buyut Seteng merupakan wakilnya. Ki Buyut Seteng berasal dari Sumedang wilayah kerajaan Pajajaran. Ki Buyut Seteng juga terkenal dengan kesaktiannya.

Kedua belah pihak, baik Ki Mas Laeng dan Syekh Mas Masaead, rupanya sudah saling mengetahui kehadiran pasukan masing-masing. Untuk mencegah terjadinya peperangan, Syekh Mas Masâ'ad lalu mengirim utusan dengan menyampaikan tujuan syiar agama Islam kepada pihak Ki Mas Laeng. Namun, karena menjaga nama baik kerajaan, ajakan itu ditepiskan oleh Ki Mas Laeng. Hawa peperangan pun semakin terasa di langit wilayah perbatasan itu. Perang tak terhindarkan. Korban berjatuhan. Sehari, dua hari. Seminggu, dua minggu. Sebulan, berbulan-bulan. Perang terus berkepanjangan.

Di saat itu, duka menimpa pihak Syekh Mas Masâ'ad. Syekh wafat karena sakit. Suara tahlil bergema di pesantren. Pucuk-pucuk daun jati di pemakaman Solear diam membeku. Air sungai Cidurian seakan berhenti riak-riaknya. Tak kelihatan binatang- binatang penghuni hutan di sekitar makam itu. Hanya terlihat satu dua yang bergelayutan berpindah dari satu dahan ke dahan lain. Sesekali, penghuni pohon itu berteriak pedih seakan tak ingin berpisah dengan empunya. Makam Syekh Mas Masâ'ad pun banyak diziarahi orang-orang dari berbagai wilayah. Kegalauan menggelayuti pikiran para santri dan prajurit kesultanan.

Siapakah pengganti penerus perjuangan Syekh Mas Masâ'ad? Akhirnya, tanda tanya itu mendapatkan jawaban dengan diutusnya seorang ulama oleh Sultan Banten. Ulama itu bernama Syekh Mubarok.

Para santri dan penduduk menyambut hangat kedatangan pemimpin baru mereka. Konon, Syekh Mubarok berasal dari daerah di Timur Tengah. Syech sering berpindah-pindah tempat. Konon, nama asli Syekh Mubarok adalah Abdullah Muhammad bin Umar bin Ibrohim Attalmasani. Sebutan nama Syekh Mubarok berarti yang memberikan kebarokahan Syekh memulai pengajarannya dengan pendalaman akidah. Syekh membacakan ayat- ayat suci alquran dari kitab tulisan tangan, sedangkan para santri menyimak dengan takdim. Untuk pendalaman tauhid, Syekh mewariskan satu kitab berjudul Sya batal iman (cabang iman).

Beberapa kitab lain juga dikaji seperti nahwu dan tafsir. Dengan berjubah putih dan dengan penuh kelembutan namun jelas terpancar kewibawaan dan karomahnya, Syekh Mubarok memperdalam ajaran Islam kepada para santri dan penduduk. Kehadiran Syekh Mubarok ternyata sudah diketahui oleh Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Mereka pun telah bersiap-siap hendak melakukan penyerangan lagi. Untuk mencegah perang, Syekh Mubarok pun mengirimkan utusan kepada pihak Ki Mas Laeng. Utusan itu menyampaikan bahwa tujuan mereka adalah untuk menyampaikan ajaran agama bukan berperang. Namun, Ki Mas Laeng lebih memilih untuk menyerbu pihak Syekh Mubarok. Trisula dipancangkan, tombak sudah mengarah ke langit, pedang sudah berkilat-kilat, dan busur panah sudah mengarah ke pasukan Syekh Mubarok.

"Serbuuuu !!!"

Teriak prajurit-prajurit Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Perang pun tak terhindarkan. Pedang beradu golok, trisula tertahan tombak, dan busur panah melesat kencang, sebagian tertahan tameng, tapi sebagian menembus dada. 

Teriakan kematian terdengar di mana-mana. Burung nasar melayang- layang. Langit memerah di pucuk-pucuk runcing daun bambu. Suara tonggeret menggerek telinga, pedih menyayat hati. Warna hijau rerumputan pun telah berubah menjadi merah. Trisula yang patah dari batangnya tertancap di atas galengan, pematang.

Tombak pun terpatah dua. Pedang dan golok- golok menjadi rompang, Sedangkan busur panah telah menjadi tonggak nisan tubuh yang terbujur kaku. Lalu, burung nasar hinggap di atas kepala mayat-mayat. Paruh nasar itu melengkung seperti sabit yang siap diarahkan ke mana saja dia mau. Sayup-sayup dari arah selatan, terdengar suara adzan magrib.

Selanjutnya, akhir adegan peperangan yang sama seperti itu terulang, terulang, dan terulang lagi. Semuanya menyisakan kelelahan badan dan batin prajurit, para santri, penduduk. Serta, menyisakan kepedihan hati para wanita yang kini menjanda dan anak-anak yang bertanya terus kapan bapaknya pulang. Semua kepedihan itu terasa di hati Ki Mas Laeng. Apalagi di kalbu Syekh Mubarok.

Di sepertiga malam, Syekh Mubarok bermunajat kepada Tuhan.

"Ya, Allah. Berikanlah kami petunjuk," lalu Syekh bersujud. Hening. Angin semilir menyelinap lewat palupuh, lantai bambu. Beduk kayu membisu. Atap rumbia membeku. Menara segi tiga membayang hitam dalam keremangan. Celurit malam yang hanya menerangi jagat dengan sepertiga cahayanya pun sudah ingin cepat-cepat menyelinap di balik balebat, fajar pagi. Udara pagi terasa sejuk.

Para petani yang biasanya pergi ke sawah, kali ini tak terlihat. begitupun dengan ibu-ibunya yang menghabiskan pagi hari dengan mencuci di sungai-sungai tak tampak. Ada apa gerangan? Rupanya perhatian penduduk tertuju ke sebuah tempat yang telah didirikan tenda-tenda. Para penduduk sudah memenuhi sekitar tenda itu. Di jalan utama, berjajar kiri kanan para pemuda tegap mengenakan surban, berpakaian silat putih- putih. Sebilah keris menyembul di balik baju mereka. Lencana prajurit kesultanan tergantung di dada. Kelak, tempat pertemuan ini disebut Pasanggrahan.

Dari arah barat, terlihat debu mengepul ke udara diiringi ringkik kuda tertahan. Penunggangnya meloncat dengan ringan. Seorang prajurit memegang tali kuda. Lelaki penunggang itu bertubuh tinggi besar. Berpakaian hitam-hitam. Berselempang kain batik, berikat pinggang warna keemasan. Rambutnya digelung. Kumis dan berewoknya menghiasi wajah. Gelang bahar melingkar di lengannya. Di dadanya yang terbuka, menggantung kalung lencana yang menandakan seorang pimpinan pasukan. Dialah Ki Mas Laeng. Di belakangnya, seorang lelaki tegap dengan pakaian yang hampir sama, mengiringinya. Hanya bentuk lencananya yang membedakan dia dengan lelaki di depannya. Dia adalah Ki Buyut Seteng. Puluhan prajurit lengkap dengan senjatanya berjajar mengiringi di belakang dua pimpinan pasukan kerajaan Pajajaran itu. Rombongan naik ke paseban setelah beberapa santri mempersilakan mereka. Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng duduk di atas kursi jati yang telah disediakan. Beberapa perwira lainnya berderet di samping. Berhadap- hadapan di depan rombongan Pajajaran adalah para perwira kesultanan Banten. Mereka saling bertatapan satu dengan yang lain. Suasana hening dan tegang menyelimuti tenda pertemuan itu.

Dari arah dalam tenda, keluarlah seseorang berjubah putih dan bersurban. Janggut panjang agak keputihan menghiasi wajahnya.

Semua yang hadir di ruang itu menoleh dan terdiam hening.

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh. Wilujeung sumping kanggo saderek urang anu ti Pajajaran. Selamat di datang di tempat kami. Adapun tujuan kami mengundang adalah ingin memusyawarahkan jalan keluar dari peperangan ini. Agama kami mengajarkan hidup penuh kedamaian bukan peperangan. Kami menyampaikan ajaran ini bukan dengan paksaan tapi karena keikhlasan. Perang hanya menyisakan kepedihan badan dan batin. Mari sama-sama kita pikirkan kerugian akibat peperangan ini."

Demikianlah Syekh Mubarok menyampaikan pendapatnya dalam pertemuan itu.

Semuanya diam merenungkan ucapan Syekh. Termasuk Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Lama mereka merenung. Setelah sekian lama pembicaraan kedua belah pihak, maka diputuskanlah hasil musyawarah. Hadirin yang ramai berbisik-bisik menunggu hasil musyawarah, segera terdiam. Syekh Mubarok pun berucap.

"Hadirin, saudara- saudaraku. Setelah kami musyawarahkan baik- baik, ternyata perang hanya membawa kesengsaraan. Perdamaian adalah jalan keluarnya. Maka mulai hari ini, perang dihentikan!" ucap Syekh dengan suara yang menggema.

Serentak para santri, penduduk, prajurit kesultanan Banten dan Pajajaran berucap syukur.

Mereka saling berpelukan erat. Syekh Mubarok mendekati Ki Mas Laeng. Dengan tersenyum, Syekh Mubarok menjabat erat tangan Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng. Syekh Mubarok lalu menuntun Ki Mas Laeng dan Ki Buyut Seteng melafazkan kalimat dua syahadat. Atas izin dan hidayah Allah SWT, dua pimpinan pasukan Pajajaran itu menjadi muslim. Suasana haru menyelimuti ruang tenda pertemuan itu. Haru karena mereka telah terbebas dari peperangan yang menyisakan kepedihan dan kesengsaraan. Mereka juga bahagia karena kedamaian telah tiba di depan mata. Semuanya tak kuasa menahan tangis kebahagiaan. Mereka meneteskan cai soca (air mata).

Wilayah pertemuan perdamaian itu, lama-lama disebut Cisoca lalu menjadi Cisoka.


Sumber: Buku Kumpulan Sejarah dan Asal-usul Tangerang terbitan Puspeda Kabupaten Tangerang dan berbagai sumber. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama