PKS Kabupaten Tangerang
Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Dr Mulyanto


JAKARTA – Insiden kebakaran Refinery Unit (RU) VI Balongan, Indramayu, Jawa Barat milik PT Pertamina (persero) beberapa waktu lalu seharusnya menjadi momentum buat Pemerintah pimpinan Presiden Joko Widodo untuk lebih serius membangun cadangan Bahan Bakar Minyak (BBM) Nasional.

Cadangan itu, ungkap politisi senior di Komisi VII DPR RI, Dr H Mulyanto diperlukan untuk menopang ketahanan energi nasional bila sewaktu-waktu terjadi krisis BBM. Dikatakan, kita belum tahu pasti berapa cadangan BBM yang terbakar dalam kasus Balongan.

“Namun, kalau melihat kapasitasnya yang 150 ribu barel per hari (bph) dan dengan asumsi cadangan operasional 23 hari, tersimpan 3.5 juta bph atau setara dengan 0.55 juta Kilo Liter (KL) BBM di Kilang Balongan. Jumlah yang sangat besar,” kata Mulyanto dalam keterangannya di Jakarta, Jum'at (2/4/2021)

Wakil rakyat dari Dapil III Provinsi Banten tersebut memperkirakan, untuk beberapa hari ke depan, sampai suksesnya 100 persen recovery, distribusi BBM yang sebelumnya dipasok RU Balongan diambil alih RU lain. Tanpa adanya cadangan operasional BBM dari RU-RU Pertamina yang lain, tentu Pertamina akan kedodoran dan akan memicu kelangkaan BBM.

“Karena itu, berkaca dari kasus kebakaran RU Balongan tersebut, menjadi penting secara nasional kita membangun membangun cadangan BBM Nasional,” imbuh Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI bidang Industri dan Pembangunan itu.

Mulyanto melihat, sampai hari ini Indonesia belum memiliki cadangan BBM nasional. Bahkan regulasi terkait soal ini pun belum tersedia. Padahal ini amanat UU No. 30/2007 tentang Energi kepada Pemerintah. “Sayang, kewajiban itu hampir 20 tahun belum dipenuhi,” kata politisi pemegang gelar Doktor Teknik Nuklir, Tokyo Institute of Technology (Tokodai), Jepang 1995 tersebut.

Ditambahkan, sebenarnya Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) sudah mulai dengan menetapkan Peraturan tentang Penyediaan Cadangan Operasional BBM. Namun, sepertinya BPH Migas belum ‘pede’ untuk menetapkan cadangan BBM Nasional dan menyerahkannya kepada Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM).

Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional (DEN) yang baru terbentuk, belum terlihat mengambil prakarsa ini. Karena itu, Pemerintahan Jokowi harus serius soal ini. “Sekarang momentum untuk merumuskan, mengatur regulasi dan membangun Cadangan BBM Nasional, agar ketahanan BBM kita tangguh dan tidak rentan terhadap krisis,” tegas Mulyanto.

Sebenarnya dalam UU No: 30/2007 tentang Energi dan turunannya PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) arahan dasar untuk itu sudah ada termasuk juga dalam UU No: 22/2001 tentang Migas. Dalam UU No: 30/2007 tentang Energi, pada Pasal 5 diatur ketentuan, (1) Untuk menjamin ketahanan energi nasional, Pemerintah wajib menyediakan cadangan penyangga energi. (2) Ketentuan mengenai jenis, jumlah, waktu, dan lokasi cadangan penyangga energi, diatur lebih lanjut Dewan Energi Nasional.

Dalam PP No. 79/2014 tentang KEN disebutkan, pembagian cadangan energi menjadi: Cadangan Strategis; Cadangan Penyangga Energi; dan Cadangan Operasional. Khusus terkait BBM dalam UU No: 22/2001 tentang Migas, pasal 46 ayat (3) secara eksplisit diatur ketentuan, pengaturan dan penetapan cadangan BBM adalah salah satu tugas Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas.

Sekarang sudah ditetapkan dan diundangkan Peraturan BPH Migas No: 9/2020 tentang Penyediaan Cadangan Operasional BBM yang mewajibkan kepada pemegang izin usaha BBM untuk menyiapkan dan mengoperasikan Fasilitas Penyimpanan Cadangan Operasional BBM secara bertahap sampai 2024 untuk dapat menyimpan BBM 23 hari.

“Ini merupakan langkah yang baik, sekarang tinggal secara nasional ditingkatkan dan diperluas dari pengaturan tentang cadangan operasional menjadi cadangan BBM Nasional,” demikian Dr H Mulyanto.

Sumber: beritalima.com

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama