![]() |
ilustrasi (foto: pexels.com) |
Di perempatan lampu merah. Siang hari yang cerah. Matahari bersinar terang menebar cahaya keberkahan kepada seluruh penghuni bumi. Awan-awan tipis bertebaran di langit melengkapi indahnya kamis itu.
Di pojok jalan, ramai orang berlalu lalang, tukang somay berdiri terkaku, masih memegang pisau somay. Matanya nanar menatap barisan mobil di belakang garis lampu merah. Beragam mobil dengan berbagai merk terkenal.
Si tukang somay yang baru saja melayani pembeli itu terbengong. Membayangkan seandainya dia yang ada di balik kemudi mobil mewah itu. Betapa bahagianya. Punya banyak uang, rumah besar, bisa plesiran setiap saat.
Tidak seperti dirinya yang tukang somay, hanya bisa membawa pulang uang puluhan ribu ke rumah, itupun tidak akan di dapatnya jika libur dagang. hmm...
Sementara itu di dalam mobil mewah yang di rasani tukang somay, mata orang itu, dari awal lampu merah, tidak lepas menatap seorang pedagang es cincau yang menggunakan topi gunung, tampak duduk tenang menunggu pembeli. Bukan topi yang membuatnya takjub. Tapi apa yang di pegang oleh tangan kanannya.
Matanya yang teduh mencerminkan ketenangan, menatap syahdu buku kecil yang di pegang tangan kanannya. Mulutnya bergerak berirama, indahnya. Membaca Quran rupanya. Duhai betapa bahagia orang itu, hatinya Bergumam. Sambil menunggu pembeli tidak membiarkan waktu terbuang, dia membaca ayat-ayat Tuhan. Tenang.
Iri sekali dia, usia sudah kepala enam, lima tahun lalu pensiun dari perusahaan multinasional. Berganti-ganti negara sebagai tempat kerja. Sibuk sekali, hingga tidak ada waktu buat keluarga. Hari ini di eropa, besok sudah di afrika, setelah kemarin dari timur tengah. Super sibuk.
Kini di hari tuanya, anak-anak sudah pergi dari rumah, putri pertama ikut suaminya ke Australia. Adiknya masih kuliah di Amerika. Keduanya sudah tidak mau menemuinya sejak dia berpisah dengan istrinya. Sepuluh tahun lalu. Sepi.
Harta yang diperjuangkan puluhan tahun tidak bisa memberikan ketenangan. Pun tidak bisa membeli sedikit saja rasa bahagia, seperti pedagang es cincau itu.
Sambil terus menyetir ingatanya terbang ke masa lalu. Menjadi seorang profesional yang dikagumi banyak mitra dari seluruh dunia atas pencapaian karir yang moncer.
Tak terasa bapak tua tersebut sudah sampai ke tujuan. Ke rumah kawan sekolah. Dari kejauhan tampak beliau mengenali seorang laki-laki seusia dengan dirinya, sedang bermain ceria bersama anak cucunya di taman depan rumah.
Kembali perasaan iri menggelayuti hatinya. Malu. Puluhan tahun lalu saat dirinya berada di puncak karir, dia menafikan nasehat dari kawannya itu, yang juga seorang pengusaha sukses, agar dirinya tidak lupa agama. Namun ego dan nafsunya membuatnya lupa.
Namun hari ini aku tidak boleh lagi abai. Belum terlambat, hatinya bertekad, sambil kaki kanannya menginjak gas menuju rumah bahagia sahabatnya tersebut. Bismillah.
***
"Sumber segala perbuatan dosa adalah cinta dunia. Siapa yang begitu gila dengan dunianya, maka itu akan memudaratkan akhiratnya. Siapa yang begitu cinta akhiratnya, maka itu akan mengurangi kecintaannya pada dunia. Dahulukanlah negeri yang akan kekal abadi (akhirat) dari negeri yang akan fana (dunia)." (HR Ahmad)
Abi Rumaisha
Posting Komentar