Rahmat Allah, Bisa Merubah Semuanya
Surat Al-Kahfi sangat penting dipelajari dan didalami oleh para juru dakwah dan pelaku tarbiyah. Dalam surat ini terdapat sejumlah kisah yang memuat empat jenis fitnah ujian yang akan dihadapi oleh seorang Muslim, terutama mereka yang ada di jalan dakwah. Empat fitnah itu adalah fitnah dalam hal keyakinan tauhid, fitnah harta, fitnah kekuasaan dan fitnah ilmu pengetahuan. Luar biasanya, uslub Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi ini, setiap usai membicarakan keempat fitnah itu, dijelaskan pula langkah-langkah penyelamatan dari fitnah tersebut. Jalan penyelamatan itu terangkum dalam tashih al-‘aqidah (perbaikan aqidah), tashihu manhaj an-nazhar (perbaikan metode melihat masalah), tashih al-fikr (perbaikan cara berpikir) dan tashih al-qiyam bi miizan al-aqiidah (perbaikan norma dengan timbangan aqidah). Seperti inilah pilihan yang diuraikan Ustadz Sayyid Quthb dalam perjalanannya bersama surat Al-Kahfi, yang tertuang dalam Kitab Fii Zhilaalil Qur`aan.
Jika kita perhatikan keutamaan surat Al-Kahfi di sejumlah hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam, kita dapatkan bahwa orang yang membiasakan membaca surat Al-Kahfi di hari Jum’at, maka dia akan mendapat cahaya yang menerangi langit dan bumi di hari kiamat. Pahala luar biasa itu sangat pantas bagi orang yang membaca surat Al-Kahfi, namun tentu harus diiringi dengan tadabbur terhadap kandungan surat ini. Mengapa sangat pantas, karena di dalam surat ini seorang Muslim diingatkan dan kembali diingatkan tentang fitnah yang akan menggempurnya, sekaligus jalan menyelamatkan diri dari gelombang fitnah itu.
Termasuk keutamaan surat Al-Kahfi dalam hadits shahih yang lain disebutkan, bahwa barang siapa yang menghafal 10 ayat dari surat ini, ia akan dilindungi dari fitnah Dajjal sebagai fitnah paling berbahaya bagi ummat Islam. Bahaya inilah yang juga akan terbahas dalam tadabbur surat Al-Kahfi.
Mari kita mulai tadabbur surat ini, dengan kisah pertama dalam surat Al-Kahfi, di mana fitnah terhadap keyakinan tauhid menghadang para pemuda dakwah, hingga penjelasan tentang cara penyelamatan mereka.
Sayyid Quthb rahimahullah menjelaskan bahwa pola yang digunakan dalam pemaparan kisah dalam surat ini adalah dengan memaparkan terlebih dahulu aspek teknis berupa cara penyelamatan secara global. Kemudian dilanjutkan pemaparan detailnya, dan di akhirnya pemaparan bagaimana suasana yang terjadi dengan membiarkan ada sejumlah jeda dalam kisah yang bisa dipahami melalui konteks ayat demi ayat.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Kahfi ayat 9-12:
“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)". Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). (QS. Al-Kahfi 9-12)
Sayyid Quthb rahimahullah mengatakan :
“Ayat ini merupakan ringkasan global dari kisah Ashabul Kahfi secara keseluruhan. Digambarkan dalam garis besar perjalanan kisahnya, sehingga kita tahu bahwa Ashabul Kahfi adalah pemuda –kita tidak ketahui jumlahnya. Mereka berlindung ke dalam gua, mereka adalah orang-orang beriman, dan ditutup telinga mereka di dalam gua – atau tertidur – beberapa tahun yang kita tidak tahu lamanya. Lalu mereka terbangun dari tidur panjangnya, hingga ada dua orang yang berdebat tentang kondisi mereka. Mereka lalu mengutus salah seorang untuk mencari keterangan siapa di antara dua orang yang berselisih itu yang paling detail penghitungannya. Kisah tentang Ashabul Kahfi ini meskipun terkesan aneh tapi itu bukanlah hal yang aneh dalam ayat-ayat Al-Qur`an sebagaimana juga penggambaran alam semesta yang penuh keluarbiasaan dan keanehan yang lebih jauh daripada kisah Ashabul Kahfi.”
Allah SWT berfirman tentang karakter pemuda itu (innahum fityatun aamanuu bi rabbihim) (wa zid naahum hudaa), artinya mereka itu pemuda dan mereka orang beriman dengan aqidah keimanan yang begitu kuat dalam hati. Karakter keimanan seperti itulah yang menyebabkan mereka bisa bertahan dan berhadapan dengan penyembahan selain Allah SWT yang terjadi di sekitar mereka.
Sayyid Quthb mengatakan lagi : “Di sini tersingkaplah keluarbiasaan hati kelompok beriman dari pemuda itu. Mereka meninggalkan kaumnya, meninggalkan rumah mereka, berpisah dengan keluarga dan pergi tanpa membawa perhiasan bumi dan harta kehidupan. Mereka berlindung di dalam gua yang sepit, yang tak nyaman dan gelap. Mereka berharap kasih sayang Allah. Mereka tetap merasa yakin bahwa kasih sayang Allah itu luas terbentang di banyak keadaan. Itulah yang disinggung dalam firman Allah (yansyur lakum rabbukum min rahmatih). Lafaz “yansyur” menginspirasikan kelapangan dan keluasan, sehingga gua itu dirasakan luas, lapang dan nyaman karena rahmat Allah SWT yang menaungi mereka. Mereka juga diliputi rasa lemah lembut dan kelapangan. Sesungguhnya batas-batas yang sempit akan terbuka dan menjadi luas. Sesungguhnya tembok yang keras akan menjadi halus. Sesungguhnya kengerian yang menyergap akan berubah menjadi kenyamanan. Semuanya karena rahmat Allah, kedekatan Allah, rasa istirahat dan damai.
Apa artinya fenomena ini dipaparkan? Apa artinya kondisi ini, keadaan ini disampaikan kepada manusia, dalam kaitannya pada kehidupan dunia mereka? Hal ini menjelaskan bahwa di sana ada alam lain, yang ada dalam dinding-dinding hati yang penuh keimanan, penuh kedekatan dengan Ar-Rahmaan. Sebuah alam yang dinaungi rahmat kasih sayang, kedekatan, ketenangan dan keridhaan. “
Kewajiban manusia adalah berusaha untuk taat dan tunduk meniti jalan keridhaan Allah SWT. Berusaha bertahan dan istiqamah di atas jalan dakwah meski menghadapi ragam tantangan yang tidak dilalui manusia biasa pada umumnya. Dalam kondisi seperti ini, Allah SWT pasti menurunkan rahmat-Nya dengan beragam bentuk. Penggambaran rahmat Allah SWT itu jelas dipaparkan dalam kisah Ashabul Kahfi.
Bertolak dari Keimanan yang Kuat
Keimanan dan penguatan iman adalah fondasi dan prinsip yang menjadi titik tolak kita sebelum melakukan apapun. Jalan dakwah ini penuh ujian dan takkan bisa bersabar orang berjalan di atasnya kecuali orang-orang yang sudah memiliki keimanan kuat dan akidah yang tertanam dalam hati. Para juru dakwah dan praktisi Tarbiyah, memang harus memiliki iman yang dalam karena keimanan itu seperti benteng yang melindungi diri. Lalu al-kahfi atau gua yang menjadi tempat berlindung para pemuda itu, adalah untuk menerangkan betapa luasnya kasih sayang Allah, dan sungguh banyak bentuk rahmat Allah SWT.
Jalan kisah Ashabul Kahfi sudah diketahui. Tujuan kita mengulasnya di sini, bukan untuk menjelaskan atau menafsirkan, melainkan melakukan perenungan dan pemikiran. Kita tidak perlu masuk pada sisi perdebatan tentang jumlah Ashabul Kahfi, karena Allah melarang masuk dalam perdebatan tentang jumlah tersebut. Perdebatan tentang jumlah pemuda Ashabul kahfi adalah perdebatan tentang sesuatu tidak didasari data yang jelas, bisa tiga, lima, tujuh atau lebih dari itu. Masalah ini biar diserahkan dan diketahui Allah SWT saja. Pelajaran yang kita ambil dari sini adalah kita membaca Al-Qur`an lalu mengambil pelajaran dari apa yang kita baca, bukan memperdebatkan tema yang kita sendiri tidak mempunyai informasi pasti tentang tema itu. (Bersambung)
KESIMPULAN DAN PELAJARAN :
1. Empat fitnah yang akan dihadapi dan jalan penyelamatannya :
- Fitnatun alal aqidah (Fitnah terhadap aqidah Islam) Ã Tashihul aqidah (perbaikan aqidah)
- Fitnatul maal (Fitnah karena harta) Ã Tashihu manhaj an-nazhar (perbaikan metode melihat persoalan)
- Fitnah karena kekuasaan (Fitnatus Sulthan) Ã Tashihu al fikr (perbaikan cara berpikir)
- Fitnah karena Ilmu (Fitnatul Ilmi) Ã Tashih qiyam bi miizan al’aqidah (perbaikan nilai dengan patokan aqidah)
2. Titik tolak dakwah dan tarbiyah, adalah keimanan yang kuat.
3. Banyak cara Allah SWT menurunkan rahmat dan kasih sayang-Nya.
4. Fokus pada pelajaran dari sebuah peristiwa.
5. Perdebatan menghalangi hikmah peristiwa. Terlebih tanpa informasi yang cukup.
Sumber: Majalah Relung Tarbiyah Edisi 1
Posting Komentar