PKS Kabupaten Tangerang


Laju sepeda motorku perlahan mulai berhenti di daerah Tigaraksa. Kawasan Pusat Pemerintahan Kabupaten Tangerang yang telah dikembangkan sejak tahun 1993. Hari ini, Kamis 13 Oktober 2022, langit sedikit mendung, matahari masih terhalang sinarnya, membawa suasana sejuk nan asri dengan pepohonan yang terawat rapi serta jalanan yang mulus, luas dan bersih tak bersampah. Di sebelah barat lapangan terdapat baligho besar bertuliskan “Selamat Hari Jadi Ke-390 Tahun Kabupaten Tangerang”.

Tiga ratus Sembilan puluh tahun, bukan waktu yang sedikit dibandingkan umur manusia saat ini. Bisa sampai enam bahkan tujuh generasi, wilayah Kabupaten Tangerang ini diwariskan. Aku sering dengar ungkapan “Tak kan habis sampai tujuh turunan”. Mungkin ini salah satu warisan yang tak kan habis sampai tujuh turunan. Anganku melayang ke 390 tahun yang lalu, bagaimana negeri Kabupaten Tangerang ini dipancangkan? Bumi Banten memang menyimpan banyak cerita sejarah, tak terkecuail Kabupaten Tangerang yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Bumi Banten.

Saat Kesultanan Banten terdesak oleh Agresi Militer Belanda pada pertengahan abad ke-16, diutuslah tiga maulana yang berpangkat Tumenggung untuk mem¬buat perkampungan pertahanan di wilayah yang berbatasan dengan Batavia. Ketiga Tumenggung itu adalah, Tumenggung Aria Yudhanegara, Aria Whangsakara, dan Aria Jaya Santika. Mereka segera mem-bangun basis pertahanan dan pemerintahan. Dilantiknya Aria Whangsakara sebagai pemimpin di Kabupaten Tangerang dari Kesultanan Banten itu, terjadi pada tanggal 13 Oktober 1632. Penobatan ini menjadi catatan penting dalam sejarah yang masih disimpan baik oleh keturuhanan Aria Whangsakara hingga saat ini. Dimana Aria Jayansantika dan Aria Maulana Yudhanegara turut mendampingi pada malam penobatan tersebut di Kadu Agung Tigaraksa.

Nama Tigaraksa itu sendiri berarti Tiang Tiga atau Tilu Tanglu, sebuah pemberian nama sebagai wujud penghormatan kepada tiga Tumenggung yang menjadi tiga pimpinan ketika itu. Seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten membangun tugu prasasti di bagian Barat Sungai Cisadane, saat ini diyakini berada di Kampung Gerendeng. Waktu itu, tugu yang dibangun Pangeran Soegri dinamakan sebagai Tangeran, yang dalam bahasa Sunda berarti tanda.

Dikisahkan, bahwa kemudian pemerintahan ”Tiga Maulana”, ”Tiga Pimpinan” atau ”Tilu Tanglu” tersebut tumbang pada tahun 1684, seiring dengan dibuatnya perjanjian antara Pasukan Belanda dengan Kesultanan Banten pada 17 April 1684. Perjanjian tersebut memaksa seluruh wilayah Tangerang masuk ke kekuasaan Penjajah Belanda. Kemudian, Belanda membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Kesultanan Banten di bawah pimpinan seorang bupati.

Para bupati yang pernah memimpinan Kabupaten Tangerang di era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I sampai VII. Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tidak mampu lagi memerintah Kabupaten Tangerang, Belanda menghapus pemerintahan ini dan memindahkannya ke Batavia. Kemudian Belanda membuat kebijakan, sebagian tanah di Tangerang dijual kepada orang-orang kaya di Batavia.

Prrrriiiittt… !

Bunyi peluit dari Provos Satpol PP mengagetkanku yang sedari tadi membaca kisah asal muasal berdirinya Kabupaten Tangerang di HPku. Rupanya upacara peringatan hari jadi Kabupaten Tangerang akan segera dimulai, cuaca masih sejuk seperti beberapa menit lalu saat aku terhenti di lapangan seputaran Gedung Bupati dan Gedung DPRD Kabupaten Tangerang. Provos Satpol PP mengingatkan agar semua kendaraan tidak diperkenankan berhenti di bahu jalan seputaran lokasi upacara. Tanpa babibu lagi, aku segera tancap gas meninggalkan kawasan Tigaraksa, daerah asal muasal berdirinya Kabupaten Tangerang.

Sebenarnya rasa penasaran kisah selanjutnya tentang Kabupaten Tangerang masih menyelimuti benak pikiranku, namun demikianlah sekelumit kisah sejarah yang bisa kita ambil hikmah serta pelajaran berkenaan dengan latar belakang hari jadi Kabupaten Tangerang, sehingga kita tersadarkan akan jasa para pendahulu yang telah berjuang melawan ketidakadilan, kolonialisme serta penjajahan dengan keberanian, kesungguhan, tak mudah menyerah, rela berkorban, ikhlas dan tawakal. Semoga jiwa-jiwa patriotisme ini merasuk ke dalam sanubari para penduduk bumi Tangerang khususnya, sebagai ahli waris dan pewaris kepada anak cucu yang mendiami bumi Tangerang ini.



Arief Mailano

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama