Hari masih pagi. Matahari tampak masih malu-malu menampakkan dirinya. Udara pagi yang sejuk terasa sayang untuk dilewatkan begitu saja hanya dengan berdiam diri di rumah & berkemul selimut.
Dina memilih berjalan santai bersama suami & kedua anaknya di alun-alun Tigaraksa yang telah dibuka kembali setelah ditutup selama 2 tahun karena pandemi Covid 19. Dina & suaminya selalu menghabiskan Minggu paginya di sana bersama kedua anaknya untuk berolahraga maupun hanya untuk sekedar menghirup segarnya udara pagi.
Dina menitah Afiqa, anaknya yang berusia 4 tahun namun belum bisa berjalan. Sedangkan suaminya berjalan santai sambil menggandeng Rifqi, adik Afiqa yang baru berusia 1,5 tahun.
Setelah lelah, Dina membawa Afiqa berisitirahat. Ia duduk tidak jauh dari area skate Park yang terdapat di alun-alun Tigaraksa. Afiqa sangat suka melihat anak-anak remaja bermain skateboard di area skate Park. Ia akan tertawa sambil bertepuk-tepuk tangan melihat kelihaian mereka memainkan papan skateboard.
"Senang banget si adek," sapa seorang ibu yang baru saja duduk tak jauh dari Dina.
Dina tersenyum.
"Iya. Suka banget lihat orang main skateboard," sahut Dina.
"Umur berapa anaknya?," tanya ibu itu.
"Sudah hampir 5 tahun," jawab Dina dengan ramahnya.
"Oh... Saya kira baru 2 tahun kurang. Tadi saya lihat seperti lagi dititah-titah," ucap ibu itu terkejut.
Dina tersenyum kembali.
"Yang usianya 2 tahun kurang itu adiknya," sahut Dina seraya menunjuk ke tengah alun-alun dimana Rifqi & suami Dina sedang berkejar-kejaran.
Ibu yang entah siapa itu mengikuti arah telunjuk Dina.
"Adiknya sudah bisa jalan, tapi kakaknya belum. Kasihan banget sampai keduluan. Kok bisa begitu ya?," tanyanya.
Dina tetap tersenyum. Meski kadang pertanyaan seperti itu mengusik batinnya. Rasanya ia sudah terbiasa menghadapi keheranan orang seperti itu.
"Kakaknya down syndrome."
"Down syndrome? Maksudnya?," tanya ibu itu tidak mengerti.
"Kakaknya ada kelainan kromosom 21 sejak lahir. Biasa dikenal dengan istilah Down Syndrome. Sehingga menyebabkan keterlambatan tumbuh kembang. Seperti yang terjadi pada anak saya ini," Dina menjelaskan.
"Waktu hamilnya pernah ke datang ke makam ya? Atau pernah ke tempat orang yang meninggal?," ibu itu mengajukan pertanyaan yang tidak diduga Dina sedikit pun.
"Memangnya kenapa?," tanya Dina heran dengan pertanyaan ibu itu.
"Biasanya kata orang tua dulu, bila ada yang meninggal khawatir sawan. Makanya dulu anak kecil & orang hamil gak boleh datangin rumah orang yang meninggal," ibu itu menjelaskan.
"Oh, begitu," sahut Dina pendek.
"Malah saya pernah lihat di TV, ada yang bilang kalau anak yang lahir ada kelainan begitu karena orang tuanya melakukan suatu kesalahan atau dosa waktu istrinya sedang hamil," cerocos sang ibu.
"Kalau itusaya kurang tahu. Yang saya tahu, Down Syndrome terjadi sejak janin masih berada di dalam kandungan," sahut Dina. Kali ini ia merasa tidak nyaman lagi berbincang dengan ibu itu.
Dina berdiri lalu mengangkat Afiqa ke dalam gendongannya.
"Maaf saya mau cari sarapan dulu dengan suami saya," pamit Dina pada ibu itu. Meski sedikit kesal dengan perkataan ibu itu, Dina berusaha untuk tetap sopan padanya.
Kemudian ia pun melangkahkan kakinya menuju suaminya yang masih asik bermain-main bersama Rifqi.
Sesungguhnya Dina sudah biasa menghadapi pertanyaan orang seputar Afiqa dan Down Syndrome. Justru dengan senang hati ia akan menjelaskan berbagai hal mengenai Down Syndrome jika orang itu belum mengetahuinya. Namun perkataan ibu itu barusan seolah menghakimi Dina & suaminya sebagai penyebab terjadinya Down Syndrome pada Afiqa. Padahal dalam dunia kedokteran sendiri belum dapat dipastikan apa sebenarnya penyebab Down Syndrome.
Mungkin ibu itu berkata demikian karena ketidak tahuannya. Tapi sesungguhnya perkataan seperti itu bisa menjatuhkan mental seseorang & dipenuhi oleh perasaan bersalah. Padahal membesarkan seorang anak yang Down Syndrome membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Karena biasanya anak yang Down Syndrome memiliki penyakit bawaan sejak lahir sehingga sering berurusan dengan rumah sakit. Belum lagi tumbuh kembang yang lambat dari anak seusianya membuat anak yang Down Syndrome harus menjalani berbagai terapi rutin untuk mengejar tumbuh kembangnya. Seperti Afiqa yang harus rutin terapi di RS Hermina Bitung. Padahal jarak rumah sakit cukup jauh dari rumahnya.
Sungguh sebuah perjuangan yang tidak mudah membesarkan anak yang Down Syndrome. Butuh semangat yang besar & tekad yang kuat. Karenanya Dina memilih untuk pergi dari pada terus-menerus mendengarkan perkataan ibu tadi sehingga memadamkan semangatnya. Meski usia Afiqa sudah hampir 5 tahun, harapannya agar Afiqa bisa berjalan tidak pernah pupus sedikitpun. Ia selalu yakin suatu hari nanti Afiqa pasti bisa berlari-larian seperti anak-anak lainnya.
*****
Minggu pagi yang cerah. Namun kali ini Dina & keluarga kecilnya memilih untuk menghabiskan hari Minggunya di rumah saja. Bukan karena Dina khawatir akan bertemu dengan ibu yang berbincang dengannya sepekan yang lalu. Tapi karena ia ingin membuatkan puding ulang tahun & nasi kuning untuk Afiqa tepat di hari ulang tahunnya yang kelima.
Sejak ba'da Subuh Dina sudah sibuk di dapurnya. Sedangkan suaminya sibuk mengurus Afiqa & Rifqi sejak keduanya bangun tidur tadi mulai dari memberikan susu, memandikan, menyuapi sarapan hingga bermain-main dengan kedua buah hatinya itu.
Dina membuka tutup magic com setelah nasi kuning yang dimasaknya matang. Lalu ia mengaduk nasi di dalam magic com hingga asap pun mengepul dari nasi yang baru matang itu.
"Alhamdulillah nasinya sudah matang," gumam Dina penuh syukur.
Tanpa disadarinya, sepasang kaki kecil dengan langkah-langkah kecilnya perlahan memasuki dapur. Wajah polos pemilik kaki kecil itu tampak tersenyum sumringah.
Ketika Dina mengalihkan fokusnya ke arah pintu dapur, ia terkejut melihat sosok mungil yang baru saja melangkah masuk.
"Masya Allah, Afiqa!!," seru Dina. Ia pun mendekati Afiqa & berjongkok di hadapannya. Ditatapnya Afiqa yang masih mengurai senyuman manis di wajahnya.
"Ada apa, Bun?," tanya suami Dina yang terkejut oleh suara Dina barusan.
Dina tidak menyahut. Matanya tampak berkaca-kaca menatap Afiqa. Tapi bibirnya mengurai senyuman. Sekejap kemudian Dina memeluk erat Afiqa.
"Masya Allah, Nak. Alhamdulillah akhirnya kamu bisa berjalan juga. Tepat di hari ulang tahunmu yang kelima," ucap Dina penuh bahagia bercampur haru.
Suami Dina ikut terharu melihatnya. Betapa berlikunya perjuangan mereka selama ini dalam berikhtiar agar Afiqa bisa berjalan. Dan akhirnya, tepat di hari ulang tahun Afiqa yang kelima, Allah pun mengijabah segala doa & ikhtiar mereka selama ini, Afiqa bisa berjalan dengan kedua kakinya sendiri. Sungguh sebuah kebahagiaan yang luar biasa bagi mereka berdua.
*****
Cibinong, 19 Oktober 2022
Fisha Virlia
Posting Komentar