PKS Kabupaten Tangerang
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadlian Sejahtera (PKS) bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto

JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadlian Sejahtera (PKS) bidang Industri dan Pembangunan Mulyanto mengkritisi evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 yang dilakukan pemerintah. 

Menurut Mulyanto, meski Ada indikator yang hasilnya bagus, namun tidak sedikit yang merah. Salah satu indikator penting, yang hasilnya relative bagus adalah indikator Gini rasio, yang mencerminkan ketimpangan pembangunan dimana nilai Gini rasio 2019 mencapai target yang diharapkan sesuai RPJMN 2014-2019, yakni di bawah angka 0.4. 

“Secara umum angka Gini rasio di bawah 0.4 masuk kategori baik, sementara angka 0.4-0.5 adalah kategori ketimpangan sedang. Sementara angka Gini rasio di atas 0.5 termasuk kategori ketimpangan buruk,” ujar Mulyanto dalam keterangan pers pada hari Jumat (11/10) di Jakarta.

Mulyanto menambahkan kita perlu hati-hati dalam menilai capaian indikator ini. Karena pengukuran gini rasio yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS) selama ini fokus pada aspek konsumsi, bukan pendapatan apalagi kekayaan yang lebih bersifat kumulatif. 

"Sehingga, kesimpulan hasil yang baik dan menggembirakan tersebut di atas hanyalah dari sisi konsumsi. Artinya ketimpangan konsumsi tidak terlalu signifikan dalam masyarakat kita. Namun, bagaimana dengan ketimpangan dari aspek kekayaan?" Tegas anggota parlemen asal Banten ini.

Berdasaran Data yang dirilis oleh Global Wealth Report 2018 Credit Suisse tentang ketimpangan di Indonesia sangat berbeda bahkan berlawanan. Data itu menunjukan bahwa 1% penduduk di Indonesia pada tahun 2018 memiliki kekayaan sebesar 47% dari total kekayaan Indonesia. Kalau diperlebar menjadi 10% penduduk, maka data yg ada memperlihatkan kelompok 10% penduduk ini menguasai kekayaan sebesar 75%. 

Artinya, kata Mulyanto, 99% penduduk Indonesia hanya memiliki kekayaan 53% dari total. Atau 90% penduduk kita hanya memiliki 25% dari total kekayaan Indonesia. “Ini kan sebuah ketimpangan yang buruk”, imbuhnya.

Mulyanto menambahkan, meskipun kita harus mensyukuri angka Gini rasio, tingkat pengangguran terbuka dan tingkat kemiskinan di negeri ini yang telah menurun dan semakin baik, namun tidak berarti kita bebas dari persoalan ketimpangan. Justru kita tetap harus waspada terhadap ketimpangan kekayaan, ketimpangan lahan, ketimpangan regional jawa-luar jawa dan sejenisnya. 

“Jangan sampai kita terlena dengan data-data tersebut. Ketimpangan harus terus diperangi, karena tidak sehat bagi rasa keadilan. Apalagi kalau penduduk yang 1% itu dominan berasal dari etnis tertentu”, tambahnya.

Karenanya Mulyanto meminta pemerintah harus terus mengupayakan dengan berbagai cara, agar gap atau jarak antara kaya dan miskin di negeri ini berkurang. Harus ada tetesan atau kalau perlu redistribusi kekayaan dari 1% penduduk kaya kepada 99% penduduk yang tidak kaya. 

“Pembangunan ekonomi bukan hanya harus berkualitas, tetapi juga inklusif. Sehingga distribusi kekayaan tidak terlalu timpang di antara penduduk”, ungkap pria berkacamata ini.

Selain melalui peningkatan peluang yang sama,Mulyanto menegaskan bahwa kompetisi yang jujur dan pemihakan pada penduduk miskin, merupakan salah satu cara yang juga diusulkan Global Competitive Report 2019, untuk mereduksi ketimpangan adalah melalui kebijakan tarif pajak yang lebih sesuai bagi kelompok kaya yang 1% tersebut di atas. 

“Langkah ini penting, karena sekaligus dapat mengurangi rapot merah pemerintah terkait indikator tax rasio kita, yang terus melorot menjadi 11.5 %. Padahal Malaysia dan Thailand saja masing-masing sudah mencapai 13,6% dan 17.6%. Bahkan Philipina tax rasionya sudah mencapai 17.5%.” pungkas Mulyanto. 

Lebih lanjut Mulyanto mengatakan bahwa IMF sendiri merekomendasikan angka tax rasio ini minimal pada besaran 16%.

“Sebagai wakil rakyat, tentu saja saya meminta manajemen perpajakan pemerintah tidak seperti jaman penjajah dulu, yang memeras keringat rakyat. Jangan sampai rakyat miskin atau usaha kecil yang masih merangkak sudah dikenakan pajak. Ini terjadi di berbagai daerah. Akibatnya, baru memulai usaha mereka langsung bangkrut.” tegasnya. 

Sementara itu di bagian lain Mulyanto menyampaikan perlunya dibangun kekuatan di sisi wajib pajak, agar mereka bergairah berusaha, dan akhirnya kuat untuk membayar pajak secara konsisten. Sementara masyarakat yang berpenghasilan di bawah 8 juta dibebaskan dari pajak. 

“Langkah ini mungkin akan lebih cepat mereduksi ketimpangan kekayaan di antara penduduk kita, serta rasa keadilan lebih cepat tumbuh subur”, tutupnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama